ADATASI ZAMAN SANG STORYTELLER

Perkembangan zaman yang beriringan dengan teknologi, menuai berbagai dampak, baik positif maupun negatif. Tradisi cerita-cerita rakyat hingga dongeng terdahulu, yang menjadi warisan budaya turun-temurun di kalangan masyarakat Indonesia, kini turun minatnya bagi anak-anak yang lahir dan tumbuh di era ini.

Menengok perjalanan panjang cerita-cerita yang diwariskan oleh orang tua, kakek, nenek, cicit, buyut, memberi pelajaran berharga pada setiap cerita. Tradisi yang diceritakan bukan hanya sekadar cerita hiburan, namun pesan tersirat tentang makna kehidupan diajarkan.

Penggunaan tradisi lisan sebagai cara menyampaikan cerita menjadi benang merah untuk meneruskan cerita-cerita tersebut. Jika di era ini, kerap dikenal sebagai storytelling, sementara orang yang menyampaikan umum dikenal sebagai storyteller.

Sebagaimana yang tertulis pada Wacana : Jurnal Ilmu Pengetahuan Budaya (2005), bahwa tradisi lisan sebagai berbagai wacana yang disampaikan dengan cara lisan, mengikuti adat istiadat yang telah ada dalam masyarakat tertentu.

Solusi yang harus dipecahkan agar dapat menyesuaikan era saat ini, dengan memikirkan stragegi bercerita yang menarik dan tidak terkesan membosankan bagi anak-anak. Faktor utama cerita-cerita tersebut tinggal sebatas memori, adalah penyampaian yang tidak mampu menyesuaikan era perkembangan zaman.

Memang penting untuk melestarikan tradisi lisan sebagai upaya pelestarian di masyarakat, namun cara penyampaian di era dahulu dan sekarang tidak bisa disamakan. Terdapat perbedaan yang cukup signifikan sehingga sang storyteller harus dapat mengemas cerita dengan gaya modern dan terkini, namun isi pesan dan makna harus tetap tersampaikan dengan baik.

Penulis : Rafi Syauqie Arjuna

Editor : Vashti Bidadari

Related Post

Tinggalkan Balasan

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d blogger menyukai ini: