Apa-apa Demi Konten, Memangnya Butuh Validasi Sebesar Apa sih?

Apa-apa Demi Konten, Memangnya Butuh Validasi Sebesar Apa sih?

Dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi tidak dapat dipungkiri menjadikan pengguna media sosial dengan mudahnya memproduksi konten. Berdasarkan laporan We Are Social, jumlah pengguna aktif media sosial di Indonesia sebanyak 191 juta orang pada Januari 2022.

Sayangnya, banyaknya jumlah pengguna tidak beriringan dengan sikap edukasi diri mengenai jenis konten apa yang perlu dibagikan. Baru-baru ini, terdapat video seorang pria ditarik Orang Utan di kebun binatang. Dan bodohnya, ia malah mengunggahnya di TikTok. Menurut pengakuan dari pihak kebun binatang, pelaku sengaja menerobos pembatas antara pengunjung dan kandang meski sudah ada papan tanda larangan. Dan bukan cuma itu, pelaku sempat menendang binatang tersebut.

Aksi nekat remaja mencegat truk juga tidak kalah mirisnya. Dari video yang tersebar di media sosial, kecelakaan tersebut mengakibatkan korban tewas mengenaskan. Tubuhnya hancur tergeletak di aspal setelah terlindas truk tronton. Peristiwa serupa juga terjadi, seorang remaja tewas tertabrak truk atas ulahnya hendak nge-BM demi konten.

Bahkan seorang mahasiswi yang sedang praktek di RSUD, membuat konten dan diunggah di TikTok bahwa ia merasa senang bisa memasang kateter pada pasien cowok ganteng. Ulahnya ini mendapat kecaman dari netizen karena dianggap sebagai bentuk pelecehan dan menyalahi kode etik profesi.

Jika diingat-ingat lagi pernah ada youtuber asal Bandung yang melakukan aksi prank pada waria di jalanan. Youtuber itu membagi-bagikan sembako yang ternyata berisi sampah dan batu. Jelas ini sangat merusak nilai kemanusiaan.

Setelah videonya viral, lantas apa yang didapatkan? Hanya ada rasa penyesalan yang berujung klarifikasi dan permintaan maaf.

Semua itu dilakukan demi konten. Ya, konten. Bagaimana respon kamu mendengar ini? Miris? Kesal? Gak habis pikir? Atau malahan tidak peduli? Nyatanya era digital ini menjadikan orang-orang dapat berbuat diluar nalar. Mereka melakukan hal gila untuk menarik perhatian dan menaikkan jumlah viewers di kanal akun mereka.

Apa yang membuat mereka melakukan hal semacam tadi? Apakah untuk meraup keuntungan? Karena menjadi Content creator dapat meraup penghasilan yang tidak sedikit. Terlebih dijaman yang serba digital ini, semua orang dapat menjadi Content creator hanya dengan bermodalkan gadget dan kuota internet.

Apakah untuk memanfaatkan media yang ada, membuat konten dapat dijadikan ajang untuk potensi diri? Jika demikian, hal ini tidak terlepas dari keinginan untuk diakui atau mendapat validasi dari publik. Namun, jika seseorang ingin memanfaatkan potensi dirinya seharusnya ia tidak perlu mencari-cari pengakuan dari publik.

Memanfaatkan media yang ada, seharusnya diisi dengan hal yang berguna. Bukan diisi aksi tidak etis yang berakibat buruk bagi diri sendiri, masyarakat bahkan alam. Namun, konten semacam itu mempunyai pasarnya sendiri. Mengutuk mereka dan membatasi ruang digital bukan menjadi solusi, seperti yang dilakukan Kominfo saat memblokir aplikasi TikTok.

Oleh karena itu, perlunya sikap edukasi diri untuk merenungkan hal semacam ini agar tidak terjadi berulang-ulang. Karena solusinya berasal dari diri manusia itu sendiri. Sejauh mana ia mampu untuk menghasilkan karya yang berguna dan mengapresiasi karya tersebut. Kita sebagai penikmat konten juga perlu menciptakan pasar yang menagih konten yang berguna. Kalau bisa kita juga dapat mengisi ruang-ruang tersebut dan ambil bagian. Seperti Vina Muliana yang membagikan video di instagram dan TikTok mengenai tips bagi pelamar kerja. Wah! cocok sekali nih, bagi anak kuliahan dan fresh graduate. Bahkan Vina ini masuk Forbes under 30 Asia tahun 2022.

Yuk bisa yuk, memanfaatkan ruang digital dengan baik. Dan meniadakan konten-konten sampah semacam tadi.

Penulis: Maharani Sabila

Editor: Riska Marcela
Sumber gambar: mainmain.id

Related Post

Tinggalkan Balasan

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d blogger menyukai ini: