Dysmorphia, Standar Kecantikan, Hingga Body Positivity

Dysmorphia

Body Dysmorphic Disorder (BDD) merupakan kondisi gangguan mental yang membuat penderitanya mengalami body image negative.

Penderitanya selalu mengkhawatirkan bagaimana bentuk tubuhnya akan terlihat. Mereka merasa tidak percaya diri, merasa jelek, dan akan membandingkan penampilannya dengan orang lain. Hal ini membuat penderitanya lebih lama menghabiskan waktu untuk menutupi kekurangan yang dimiliki. Seperti memakai ukuran baju yang bisa menutupi kekurangan hingga menutupi cacat pada tubuh dengan make up.

Billie Eilish, penyanyi asal Amerika Serikat melalui wawancaranya dengan Rolling Stone, mengaku bahwa ia mengalami gangguan dysmorphia sejak usia 12 tahun. Pelantun lagu “Bad Guy” itu bahkan mengaku bahwa dirinya takut untuk berkaca.

Melalui pengakuan Billie, dapat diketahui bahwa kondisi gangguan mental dimana seseorang membenci tubuhnya ini ada. Bahkan, menurut pakar dysmorphia, Katharine A. Philip mengatakan gangguan mental ini adalah penyakit yang sering diderita namun penderitanya sendiri tidak menyadari.

Lalu, apa yang menjadi pemicu dari kondisi ini?

Jika kita lihat, tren teknologi seperti media sosial menjadikan standar kecantikan semakin kaku. Setiap hari, kita melihat potret perempuan cantik yang menyesaki ruang maya. Identitas kecantikan yang ditampilkan berupa wajah cerah, kulit putih, tubuh tinggi dan langsing, serta rambut lurus dan panjang. Hal semacam ini menimbulkan insecurity yang tak ada habisnya.

Dari hasil survei magdalene.co pada juni 2022, sebanyak 18,8% responden merasa kurang percaya diri tampil tanpa filter kecantikan. Bahkan mereka mengaku tidak nyaman dengan fitur muka sendiri. Hal ini diiringi dengan maraknya aplikasi seperti face App, Facetune 2, Youcam Makeup hingga Meitu. Semuanya tidak terlepas dari memenuhi standar kecantikan yang ada.

Dari timbulnya insecurity ini, membuat banyak produk kosmetik dan kesehatan kulit bermain peran disana. Para perempuan kewalahan memilih produk kecantikan mana yang harus dipakai. Kondisi ini membuat perempuan sebagai objek yang dieksploitasi. Mengerahkan segenap tenaganya melakukan perawatan demi mendapatkan predikat sebagai perempuan cantik.

Jika cara berpikir perempuan semacam ini, menurut filsuf feminis-eksistensialis asal Perancis, Simon De Beauvoir menegaskan apabila perempuan masih memegang standar kecantikan hasil konstruksi media maka akan menjadi objek yang dikontrol dan dieksploitasi demi kepentingan bisnis pemilik media dan perusahaan kosmetik.

Maka, hal yang dapat membuat perempuan tidak tunduk terhadap standar adalah memilih jalan pembebasan. Perempuan harus menyadari makna tubuhnya. Mampu menyadari bahwa mereka tidak terikat dengan segala macam stereotip.

Body Positivity

Adanya dysmorphia hingga standar kecantikan yang kaku menjadikan gerakan body positivity marak diperbincangkan. Gerakan ini bukanlah hal baru bahkan sudah ada sejak tahun 1850-an. Dengan didengungkannya kembali, berarti masih ada populasi manusia yang mendiskriminasi orang tentang bentuk tubuhnya. Memang sangat diperlukan orang-orang berani untuk menyuarakan hal ini.

Kesadaran orang-orang tentang keberagaman membuat gerakan body positivity mudah menyebar dengan cepat ke seluruh dunia. Gerakan ini bahkan merambah ke dunia Hollywood dengan para penyanyi yang menyelipkan peran body positivity melalui lagunya, seperti Meghan Trainor dengan “All About That Bass”, Anne Marie dengan “Perfect” hingga Demi Lovato dengan “Confident”. Dan di Indonesia kita punya Tulus dengan lagunya yang berjudul “Gajah”.

Ika Vantiani seorang seniman Indonesia mengatakan pada magdalene.co, bahwa masih banyak orang yang salah kaprah tentang body positivity. Baginya gerakan ini merupakan perlawanan ide yang kuat supaya perempuan bisa mendefinisikan diri dan tubuhnya bukan berdasarkan apa yang orang lain katakan dan membebaskan diri dari penghakiman masyarakat yang punya standar ganda.

“Kita dari kecil dibombardir berbagai ekspektasi terhadap tubuh kita, entah itu dari orang tua, pacar, iklan, atau media. Ini menjadikan perempuan kesulitan mendefinisikan dirinya sendiri. Kita dibentuk untuk benci badan kita. Padahal, bentuk badan tidak mengurangi nilai kita sebagai manusia. Ini yang gue sebut self-acceptance,” ujar Ika.

Bahkan ketika seorang perempuan sudah mampu memahami makna tubuh, lingkungan hingga media masih mempermasalahkan pilihannya. Seperti cibiran yang diterima artis muda tanah air, Pevita Pearce. Beberapa waktu lalu Pevita memamerkan foto dengan tubuh atletisnya kemudian ia mendapatkan komentar dari seseorang.

“Bukan bermaksud apa apa ya Pev, tapi cowok biasanya lebih suka cewek yang bodynya feminim. Bentuk tubuh yang wanita yang seharusnya, bukan berotot,” tulis seorang netizen.

Menanggapi hal tersebut, pemeran Sri Asih itu mengatakan alasan bahwa ia melakukan hal tersebut lantaran untuk dirinya sendiri bukan untuk laki-laki.

“Bukan bermaksud apa apa tetapi apa yang saya lakukan untuk diri saya sendiri bukan untuk cowok seperti anda,” tulis Pevita Pearce.

Setiap orang memiliki dysmorphia tubuh, hanya levelnya saja yang berbeda. Memiliki bekas jerawat, bulu halus di wajah dan garis halus yang terlihat dibawah mata. Dan industri kecantikan punya semua jawabannya. Industri yang tumbuh dari memupuk insecurity kita. Sehingga harus ada yang berubah saat kita melihat tubuh.  Jadi cantik itu tentang bagaimana kita mencintai tubuh, bukan malah mencari-cari kekurangannya.

Penulis: Maharani Sabila

Sumber: Magdalene.co dan berbagai sumber lain

Sumber gambar: Beautynesia.id

Editor: Katarina Setiawan

Related Post

Tinggalkan Balasan

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d blogger menyukai ini: