PERMATA PALING BERHARGA

PERMATA PALING BERHARGA

Tahun-tahun sebelumnya selalu ada kue ulang tahun ketika Senandung membuka mata di hari istimewanya. Selalu ia lihat ayah ibu dengan kue ulang tahun di tangan ibu begitu Senandung terbangun dari tidurnya. Namun, tahun ini berbeda. Tidak ada kue ulang tahun. Tidak ada ucapan selamat ulang tahun secara langsung beserta tepukan tangan riang. Tahun ini, hanya ada dirinya sendiri di rumah ini.

Dilemparkannya ponsel berwarna merah itu ke kasur. Pesan dari orang yang ditunggu-tunggu tidak kunjung datang juga. Apa mereka lupa bahwa tahun ini dirinya membuka jurnal tahunan ke-17? Apa mereka lupa bahwa tahun ini dirinya menginjak usia yang kata orang-orang ‘sweet 17’ ?

“Sesibuk apa di sana sampai ayah ibu enggak ngabarin sama sekali? Enggak ngucapin selamat ulang tahun lagi. Lupa kali, ya?” gumam Senandung dengan nada sedih, tetapi juga kesal.

Ayahnya ada perjalanan kerja ke luar kota ditemani sang ibu. Sebelumnya, mereka bilang akan kembali ke kota ini sebelum hari ulang tahun Senandung dan akan merayakannya bersama. Namun sehari sebelum ulang tahun, orangtuanya justru memberi kabar bahwa jangka waktu perjalanan di luar kota akan diperpanjang. Otomatis, orangtua Senandung tidak bisa menemani anak perempuan satu-satunya itu merayakan ulang tahunnya.

Senandung tentu saja sedih. Ulang tahunnya kali ini harus ia lewati dengan kesendirian di rumah. Ia mencoba menerima dengan berharap ayah ibunya pasti masih memberinya ucapan meski melalui telepon. Sayangnya, hingga pukul 1 siang tidak ada telepon ataupun chat yang masuk.

Lamunan Senandung buyar kala mendengar suara bel yang dibunyikan. Keningnya mengernyit mencoba menebak kira-kira siapa si tamu itu. Apakah orangtuanya yang akhirnya datang dan memberinya kejutan?

Benar, itu mungkin saja, ‘kan?

Dengan langkah semangat dan penuh harapan, Senandung segera berjalan untuk membuka gerbang pintu rumahnya. Lagi-lagi, harapannya harus ia kubur dalam-dalam karena yang ada di hadapannya ini bukanlah orangtuanya. Tetapi Rajidan, teman sekelas Senandung.

Rajidan dalam balutan celana jeans dan hoodie abu-abu melambaikan tangannya. Ia tampak tersenyum meskipun tertutup masker. Hal ini terlihat dari matanya yang menyipit khas seseorang yang tersenyum.

“Oalah, Jidan ternyata. Kukira ayah ibu,” celetuk Senandung tidak bisa menutupi raut wajah sedihnya.

“Eits, jangan sedih. Kalau ulang tahun harus full senyum. Mending rayain ulang tahun bareng aku aja,” ajak Rajiidan mencoba menghibur Senandung. Rajidan tau masalah yang dialami Senandung karena gadis itu menceritakannya tadi melalui whatsapp.

“Kemana?” tanya Senandung bingung.

“Ada deh. Banyak orang kok di sana. Pasti kamu suka lihat mereka. Yuk, buruan siap-siap. Aku tunggu, ya.”

***

Setelah menempuh perjalanan sekitar 30 menit dari rumah Senandung, motor yang dikendarai Rajidan akhirnya berhenti di tempat tujuan mereka. Bangunan berbentuk seperti rumah dengan plang bertuliskan “Panti Asuhan Permata” menjadi tempat tujuan mereka kali ini. Senandung sudah diberitahu oleh Rajidan ketika di perjalanan. Bahkan tadi ia sempat meminta Rajidan untuk mampir ke minimarket untuk membeli sejumlah makanan yang akan dibagikan di panti asuhan.

Senandung antusias. Senyuman manis tidak luntur dari wajahnya ketika memasuki panti asuhan tersebut. Ia dan Rajidan memang pernah berkunjung ke panti asuhan ini. Semua berawal oleh ajakan Rajidan ketika pulang sekolah di suatu hari. Katanya, Rajidan ingin memperkenalkan Senandung kepada saudara-saudaranya. Ternyata saudara yang dimaksud adalah anak-anak panti asuhan.

Sebenarnya, Rajidan juga merupakan salah satu anak panti asuhan dulunya. Kemudian ia diangkat oleh pasangan suami istri yang baik hati. Hal itu tidak membuat Rajidan lantas melupakan tempat yang membesarkannya ini. Rajidan tetap mengunjungi panti asuhan dengan membawa banyak buah tangan tiap kali berkunjung kemari.

“Tadi kamu udah bilang Bu Nirma, Jid, kalau kita mau kesini?” tanya Senandung ketika memasuki ruang tamu yang tampak sepi. Bu Nirma merupakan pemilik Panti Asuhan Permata.

Rajidan mengangguk sebagai jawaban.

“Tapi kok Bu Nirma nggak di depan, ya? Kayaknya kalau kita ke sini, Bu Nirma selalu stay nunggu di depan,” bingung Senandung.

“Lagi ada yang disiapin kali ya di dalem. Yaudah masuk aja ke ruang tengahnya kayak biasa,” ujar Rajidan.

Senandung mengikuti saja langkah Rajidan menuju ruang tengah. Ruang tengah adalah tempat paling luas di dalam panti asuhan ini. Di sinilah biasanya anak-anak panti banyak bermain dan berinteraksi satu sama lain.

Senandung mengernyitkan keningnya. Agak bingung dengan suasana panti yang lebih hening daripada biasanya ketika ia kemari. Meskipun baru dua kali, tapi setiap Senandung kemari, pasti terdengar suara ramai anak-anak. Sangat berbeda dengan kali ini.

“SELAMAT ULANG TAHUN, KAK SENANDUNG!” Teriakan bercampur suara terompet adalah suara pertama anak-anak yang menyambutnya kali ini. Betapa terkejutnya ia ketika melihat anak-anak ini tersenyum dan bertepuk tangan untuknya setelah mengucapkan selamat ulang tahun. Ada juga Bu Nirma yang memegang kue ulang tahun.

“Tiup lilinnya, tiup lilinnya, tiup lilinnya sekarang juga.”

Lantunan lagu mengalun dengan penuh kegembiraan di ruang tengah. Senandung tidak kuasa menahan harunya hingga setitik air mata mulai turun melewati pelupuk matanya. Haru dan bahagia bercampur menjadi satu.

Selepas meniup lilin, suara tepuk tangan menggema lagi. Senandung tersenyum. Setelahnya, ia mengucapkan terima kasih karena sudah mempersiapkan kue ulang tahun dan kejutan ini untuknya. Ia merasa sangat diterima dengan baik di sini. Tahun ini, ternyata ia masih bisa menerima kue ulang tahun meski bukan dari orang tuanya.

Senandung, Bu Nirma, dan anak-anak panti duduk melingkar di sana. Rajidan berpamitan sebentar untuk mengangkat telepon dari ayah angkatnya.

“Kak Ndung, Kakak dapat kado apa dari ayahnya Kakak?” celetuk salah satu anak berusia 10 tahun. Namanya Tito.

“Wah, kalau punya ayah tuh setiap ulang tahun pasti dapat kado, ya?” timpal anak lainnya, namanya Diar.

“Iya. Kalau dari yang aku lihat di TV gitu. Ada pesta ulang tahun meriah. Nanti ayah ibunya di samping kakak yang ulang tahun nemenin potong kue. Seru deh,” balas Tito. Binar anak-anak panti terlihat tertarik dengan ucapan Tito. Setelahnya anak-anak itu terlibat pembicaraan ringan seputar ulang tahun bersama ayah ibu. Hal yang belum pernah mereka rasakan selama ini.

Sedangkan Senandung justru tersenyum sedih. Kembali teringat ayah ibunya belum juga mengiriminya pesan.

“Anak-anak ini selalu mendambakan pesta ulang tahun bersama keluarga mereka yang seutuhnya, Ndung. Mereka enggak seberuntung kamu untuk itu,” ucap Bu Nirma seraya mengusap punggung tangan Senandung.

“Ayah ibu belum ucapin apa-apa, Bu. Mereka masih di luar kota. Kayaknya lupa,” jawab Senandung.

“Ditunggu, ya. Mungkin mereka lagi ada urusan penting banget sampai belum sempet ngabarin. Ibu yakin mereka enggak akan lupa dengan ulang tahun kamu.” Setidaknya, ucapan itu bisa sedikit menenangkan Senandung.

“Kak Ndung, kalau punya ayah itu selalu diantar ya ke sekolahnya?” tanya Putri.

Senandung tersenyum. “Iya. Kalau ayah mau, ayah antar. Tapi kadang kalau Kakak pengen berangkat sendiri, Kakak naik ojek.”

“Kenapa kok malah pengen sendiri, Kak? Kan enak ada ayah. Aku kalau ada ayah enggak bakal pengen sendiri deh kayaknya. Bakal mau ditemenin ayah terus,” balas Putri.

“Aku juga. Sayangnya aku nggak punya ayah. Lebih tepatnya aku nggak tau ayahku kayak gimana dan sekarang dimana. Selama ini, tauku cuma Bu Nirma yang jadi orangtuaku,” timpal Putra.

“Kalau aku, aku inget aku punya ayah. Aku inget terakhir kali pergi sama ayah pas aku masih kecil. Kita beli nasi goreng. Uang ayah kurang, ayah bilang mau pulang sebentar buat ambil uang di rumah. Tapi ayah nggak pernah balik, bahkan sampai aku udah SMP, ayah nggak pernah nemuin aku lagi.” Rena menimpali.

“Ayahku udah meninggal. Dulu aku sama ibu. Aku masih inget juga, Ren. Tapi kayaknya aku ini beban buat ibu sampai ibu bawa aku ke sini dan nggak jemput aku sampai sekarang,” celetuk Dito

“Dito nggak boleh ngomong gitu. Kamu bukan beban kok. Kamu ini anugerah terindah dari Tuhan,” sergah Senandung.

“Kalau gitu, kenapa aku dibuang ibu, ya, Kak?” tanya Dito dengan nada lebih pelan.

Senandung jadi bingung harus merespon bagaimana.

Bu Nirma akhirnya masuk dalam pembicaraan itu. “Dito, apapun yang terjadi dalam hidup kamu dulu, itu bukan salah kamu, Nak. Jadi jangan merasa begitu, ya. Semua anak itu anugerah. Tapi enggak semua orang tua siap menerima anugerah itu dan itu bukan kesalahan si anak.”

Suasana menghening sejenak. Entah kenapa, atmosfir di ruangan itu terasa dingin dan memilukan setelah mendengar cerita-cerita anak-anak ini.

“Heiii ada apa ini? Kok mendadak hening? Nih, Kak Jidan bawain jajan lho buat kalian.” Rajidan kembali ke ruangan itu, memecah keheningan dan suasana pilu dengan kantong kresek berisi jajanan yang sebelumnya dibelikan oleh Senandung dan Rajidan.

Suasana yang sendu berganti dengan sorakan penuh antusias. Anak-anak itu buru-buru menyerbu Rajidan yang tertawa meladeni mereka semua.

“Mereka, anak-anak ini, selalu antusias setiap Rajidan kesini dan cerita tentang keluarga barunya. Hal-hal kecil kayak Rajidan makan apa sehari-harinya. Rajidan pergi keluar bareng keluarganya. Mereka selalu seneng kalau denger itu. Mereka juga berandai-andai gimana kalau posisi menyenangkan itu ditempati oleh masing-masing dari mereka. Sayangnya, sekarang belum waktu mereka untuk itu.” Ucapan Bu Nirma menarik perhatian Senandung.

“Anak-anak ini, korban keegoisan dan ketidaksiapan orangtuanya. Anak-anak ini, harusnya merasakan kasih sayang keluarga kandungnya secara utuh. Tapi karena keegoisan dan ketidaksiapan orang tua mereka, akhirnya mereka harus ada di sini. Bertemu anak-anak lain yang punya nasib serupa,” lanjut Bu Nirma.

Senandung mengalihkan tatapannya lagi ke arah anak-anak yang sedang bahagia makan jajanan yang diberikan Rajidan.

“Pergaulan bebas hingga hamil di luar nikah. Keadaan ekonomi yang sangat tidak stabil dan mencekik. Emosi yang tidak bisa dikontrol. Hal-hal seperti itu yang dilakukan oleh orang tua mereka, akhirnya membawa anak-anak ini kemari. Kasihan, Ndung, mereka masih terlalu muda untuk merasakan pahitnya dunia. Enggak jarang mereka sedih, pengen banget ketemu orang tua mereka. Pengen dipeluk orang tua mereka yang sebenarnya. Pengen dimasakin ibu, diantar sekolah ayah. Keinginan itu kayak sederhana banget. Tapi buat mereka, itu sangat mewah,” tutur Bu Nirma.

Senandung seolah ikut merasakan sesak yang anak-anak ini rasakan. Ia tersadarkan selama ini dirinya merupakan anak yang beruntung karena mendapat kasih sayang secara utuh dari orangtuanya. Meski di beberapa waktu orang tuanya sibuk bekerja, mereka tetap ingat hal-hal kecil yang disukainya.

Senandung juga menyadari, memiliki keluarga yang utuh dan harmonis adalah sebuah kemewahan yang tidak akan bisa dibandingkan dengan apapun. Tidak semua anak dapat merasakan ini. Beberapa justru mendapat luka dari orang-orang yang disebut keluarga.

“Nanti kalau kamu semakin bertambah usia, makin masuk fase dewasa, jadi orang baik ya, Ndung. Jaga diri baik-baik. Jangan sampai terjerumus ke pergaulan bebas yang enggak sehat. Kumpul sama orang-orang baik. Ketemu laki-laki baik juga sebagai pendamping kamu. Jadi orang tua yang baik buat anak-anak kamu. Jangan sampai ada yang merasakan kayak anak-anak ini lagi. Sayang banget, Ndung. Anak-anak ini anugerah. Bukannya bahan salah-salahan atau pelampiasan kekecewaan. Anak-anak ini permata yang harus dijaga. Bukan suatu hal yang bisa dibuang ataupun diperlakukan sekenaknya,” nasihat Bu Nirma.

Senandung mengangguk. Tentu. Dirinya akan menjadi orang tua yang baik di masa depan kelak. Sebagaimana orang tuanya menjaga Senandung, ia akan menjaga anak-anak nanti dengan baik pula.

“Kalian jangan sedih-sedih lagi, ya. Kita semua pasti bisa bahagia kok. Kita berhak untuk itu. Terus inget baik-baik ya yang Kak Jidan bilang, kalian itu berharga. Kalian itu permata, harta paling mewah, harta paling mahal yang enggak bisa dinominalkan ataupun diperjualbelikan. Sekeren itu loh kalian. Harus tetep jadi orang keren ya, jadi orang baik. Belajar yang tekun, biar bisa sukses nantinya. Oke?”  Ucapan Rajidan yang satu itu disambut sorakan penuh semangat oleh anak-anak.

“OKEEE KAKK!”

Senandung tersenyum melihatnya. Rasanya bahagia melihat anak-anak ini tersenyum. Getaran di ponselnya membuat Senandung sontak mengalihkan perhatiannya pada benda merah persegi panjang itu.

Ibu : Selamat ulang tahun, Senandung! Selamat 17 tahun ya. Semoga banyak kebahagiaan untuk anak ibu paling hebat ini. Maaf ya sayang, ibu baru bisa chat sekarang. Tunggu ya, ibu sama ayah lagi perjalanan pulang nih. Nanti malam kita makan bareng untuk merayakan hari ulang tahun kamu ya. Terima kasih sudah hadir dan menjadi anak ibu, Senandung. Terima kasih sudah jadi anugerah paling berharga untuk ibu dan ayah.

Lengkap sudah kebahagiaan Senandung hari itu.

Ditulis oleh: Ika Safira Syaharani

Sumber foto: suara.com

Editor: Katarina Setiawan

Related Post

Tinggalkan Balasan

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d blogger menyukai ini: