Jekala Narendra Okala

Jekala Narendra Okala

Hai, aku Jekala Narendra Okala sering dipanggil Naren. Aku hanya seorang remaja yang umurnya bahkan belum genap 17 tahun, orang-orang bilang wajahku tampan bahkan beberapa bagian mirip dengan ibuku. Saat dipuji seperti itu, aku merasa senang walaupun mungkin aku belum pernah bertemu atau sekedar bertatapan mata dengannya.

Kali ini aku akan bercerita singkat tentang kehidupanku yang sebenarnya tak ada yang spesial, aku sendiri tinggal bersama kakakku yang pulang seminggu sekali. Ayahku? Entahlah, aku belum pernah bertemu dengannya dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir.

Hari ini tanggal 22 Desember, semua orang di sekolah tengah mempersiapkan diri dan hadiah untuk orang tua mereka. Ada yang bernyanyi atau sekedar membaca puisi, lalu mereka akan berfoto dengan senyum cerah merekah di samping kedua orang yang sudah membesarkan mereka itu.

Aku sendiri hanya terdiam di bangku, beberapa teman mungkin mengajak berbicara atau sekedar menyapa. Jika ditanya apakah aku iri? Tentu saja, dibesarkan tanpa seorang ibu mungkin tak masalah dengan beberapa orang, aku pun juga. Namun, biarkan anak malang ini melihat barang sebentar seorang wanita yang sudah melahirkannya. Aku hanya bisa tersenyum miris saat semua orang mengobrol bersama dengan kedua orang tua mereka.

Ibu, bisakah aku melihat mu? Aku rindu.

Ibu, ijinkan aku untuk memelukmu, aku menginginkan pelukan hangat itu.

Jika aku di beri kesempatan kedua, aku tak akan membiarkan engkau pergi lagi, aku tak akan membiarkan engkau menjauh barang sebentar dari ku.

“Naren, Abang mu gak bisa dateng?”

Aku mendongak saat seseorang mengajakku bicara, ah.. ternyata hanya Sagara. Dia berdiri di sebelahku dengan senyum kecil seperti biasa.

“Untuk apa? Toh juga yang diundang kan orang tua, Abang ku sibuk, dia harus kerja” ucapku dengan nada yang kuusahakan untuk terlihat baik-baik saja.

“Kalo gitu-” Ucapan lelaki berambut cokelat itu terhenti saat ibunya memanggilnya untuk keluar kelas, maklum saja acara sudah selesai.

“Ayo Aga, katanya pengen mie ayam?” Ibunya menghampiri, memandangku sekilas lalu tersenyum hangat. Selanjutnya aku mengangkat bibir tipisku ke atas memberikan senyum sapaan.

“Yaudah, aku duluan ya” hanya anggukan yang aku berikan pada Aga.

Aku sengaja meninggalkan kelas terakhir, menyaksikan orang tua dan anaknya pergi satu persatu. Lalu, saat kelas sepi, aku mengambil tas dan berjalan sendiri melewati lorong.

Sebenarnya banyak teman yang menyarankan kepadaku agar setiap tanggal 22 Desember aku tak usah berangkat sekolah, karena pada akhirnya aku selalu sendiri di bangku. Namun, itu lebih baik menurutku, dari pada di kontrakan sendiri menangis menahan rindu kepada wanita cantik yang bahkan belum pernah kutemui.

Saat sampai di gerbang sekolah, seseorang menepuk pundakku. Aku menoleh dan menemukan Abang ku tengah berdiri dengan wajah tengilnya.

“Mau ketemu bunda?” Aku ingin menolak, tapi saat menoleh pandang di sekelilingku yang semuanya serba ayah-ibu, kurasa mungkin ibuku juga butuh sebuah cerita singkat tentangku hari ini.

***

Dan disinilah aku, tersenyum simpul pada sebuah nisan yang bertuliskan nama seorang wanita cantik yang banyak orang orang gandrungi. Aku meletakkan sebuah bunga mawar putih yang sempat aku beli di pinggir jalan tadi sebelum kesini.

“Assalamualaikum bunda, ini Naren. Iya, Jekala Narendra Okala yang sekarang kelas 12 SMA,” ucap ku pelan.

“Bunda, Naren kangen. Naren pengen peluk bunda, Naren pengen cium bunda, Naren pengen ketawa sama bunda” mengusap pelan pipi ku yang mulai basah, aku memaksakan diri untuk terus berucap walaupun terkadang mulutku tercekat.

“Bunda tau gak? Naren iri loh sama temen-temen Naren, mereka bawa ibu sama ayahnya tadi ke sekolah, bawa kamera terus foto bareng, Naren mah boro-boro foto sama bunda, sama ayah aja Naren gak punya fotonya”

“Bunda tau gak? Kata kakek, bunda itu wanita paling cantik, baik, sopan. Katanya bunda baik, tapi kenapa gak biarin Naren peluk bunda? Katanya bunda cantik, terus kenapa gak bunda biarin Naren cium sama lihat wajah bunda?”

“Hiks, Naren pengen banget nyalahin Tuhan karena ngambil cepet bunda Naren, tapi apa hak Naren? Naren cuman manusia yang suka ngeluh, kadang lupa caranya bersyukur, dan selalu iri sama orang lain. Tapi, kalau seandainya Tuhan pengen ngasih Naren satu kesempatan, Naren pengen lihat bunda, Naren pengen peluk erat bunda, pengen cium bunda, pengen foto sama bunda hiks.”

Aku membuang nafas yang mulai tak beraturan, mendongak ke atas dan melihat langit mulai berwarna keabu-abuan. Sepertinya tak lama lagi akan turun hujan.

“Naren..” Aku menoleh ke kiri saat merasa ada yang memanggil ku, lalu melihat Abang yang tersenyum simpul, dia menyuruhku cepat menyelesaikan pembicaraanku dengan ibuku katanya nanti keburu hujan.

“Bunda, Naren permisi dulu ya sama Abang, bunda baik baik disana, tungguin Naren ya? Naren pulang sekarang bunda, assalamualaikum” langkahku kubawa pergi menjauh dari pemakaman umum. Sedikit menoleh kebelakang hanya untuk melihat makam bunda yang terlihat bersih terawat.

Bunda, aku gak janji tapi aku bakal usaha buat jadi orang sukses. Walaupun bukan buat aku, minimal buat bunda. Agar bunda liat di atas sana, seberapa sayangnya anakmu ini terhadapmu.

Penulis : Annisa Cardina Kamilia Aziz

Editor : Aninda Ratna Ghifarani

Sumber Gambar : Pinterest

Related Post

Tinggalkan Balasan

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d blogger menyukai ini: