Can I Call U, Love? – #7 Tertunda

Can I Call U, Love? – #7 Tertunda

Hari ini melelahkan. Tiga kali kelas, tiga kalinya pula aku harus presentasi di depan kelas. Sungguh, semalam aku hampir gila rasanya. Materi ini belum selesai, materi itu belum kupelajari, materi yang satunya malah sedang ku proses. Belum lagi aku harus berbicara didepan forum organisasiku. Hampir muak rasanya. Ingin kabur dari semua kegiatan. Tapi superegoku menahan untuk tidak pergi.

Sore itu entah mengapa suhu tubuhku menurun, hingga tangan-tangan yang kukepal dalam tas pun masih tetap kedinginan, badanku menggigil. Entahlah, tapi aku sering tiba-tiba kedinginan seperti ini. Tidak pernah membawa jaket ke kampus, siapa pula yang tau bahwa hari ini aku akan mendadak kedinginan.

Hari ini pula sudah kami rencanakan, makan malam berdua di kos setelah forum selesai. Begitu forum kami usai, ia mendadak hilang begitu saja, entahlah. Yang kutahu, dia akan menungguku dijalanan menuju kos. Tapi salah, kucari ia disekitar tak kutemukan. Kupikir turun lewat escalator, jadi lama. Atau sudah lebih cepat karena lewat tangga, tapi tak ada.

Di parkiran, kutunggu sekitar 15 menit. WhatsApp dengan centang satu, kutunggu pula dengan sabar hingga berubah menjadi dua, bahkan sampai berubah warnanya menjadi biru dengan pesan baru. Tidak bilang apa-apa sebelumnya. Jadi, mana kutahu, jika hari ini ia ada forum juga disebelah.

“Aku di forum sebelah”, setelah15 menit kutunggu, akhirnya ada pesan baru.

Aku masih berdamai dengan si ego.

“Yaudah, ketemu di kos ya kalau sudah selesai”, jawabku tetap tenang meski merasa sebal.

“Siap, nanti jam 9 selesai biasanya”, jawabnya seolah menegaskan bahwa ia akan datang.

Sesampainya di kos, badanku masih menggigil tak karuan. Kurebahkan diri diatas karpet, kutarik selimut, meski sudah menggunakan jaket. Kakiku masih dingin sekali rasanya. Entahlah, kipas sudah mati. Aku tertidur pulas sekali. Hingga tiba-tiba dering membangunkanku. Kupikir itu dia. Ternyata temanku, malas sekali. Menyuruhku ke kosnya untuk mengambil barangku yang terbawa olehnya saat di kampus tadi. Aku menaiki motor ke kosnya dengan muka bantal dan perut yang sudah lapar sekali.

Pukul setengah delapan malam. Terakhir kali aku mengunyah adalah di kos tadi pagi, makan sereal saja. Jadi, jika laparku sudah tak karuan, wajar bukan? Apalagi 9 SKS hari ini benar-benar menguras pikiran karena harus presentasi diketiga mata kuliah.

Sampai di kosnya temanku, diajaknya aku mencari makan. Ia lapar katanya, sendirian pula. Mie ayam goreng, ia ingin. Sejak diatas motor, ia memaksaku untuk ikut makan juga, tidak hanya sekadar menemaninya melahap habis mie ayam goreng itu. Berkali-kali itulah aku menolaknya. Aku masih ingin makan malam berdua, karena ia nanti tidak akan mau jika harus makan sendirian dan aku juga tidak ingin makan dua kali malam ini, apalagi dengan selang waktu yang kukira cukup singkat.

Tapi ada rasa takut yang menghantuiku jika makan malam ini akan gagal. Karena hari sudah kian gelap, sedang ia belum ada kabar akan benar datang atau hanya menenangkanku saja dengan kalimatnya yang terakhir bahwa ia akan datang setelah selesai forum.

Setelah kupikir-pikir, aku memutuskan untuk makan saja. Mengingat yang sudah-sudah, jika forumnya selesai tidak dengan singkat. Aku makan, dengan terus dihantui pikiran “Ia akan datang tidak ya? Jika datang, berarti aku harus makan dua kali? Ah sudahlah, biarkan jika harus makan dua kali, lagipula porsinya sedikit dan ini hanya mie, bukan nasi.”

Setelah mie ayam goreng itu habis, aku langsung saja mengajak temanku untuk pulang, aku terburu-buru, takut saja jika dia ternyata sudah menunggu didepan kos, atau sudah selesai forumnya. Pukul sembilan, aku pulang ke kos. Ternyata masih tidak ada kabar. Aku memutuskan untuk mendengarkan lagu I Still Love You – The Overtunes. Tenang sekali rasanya, suara Mikha benar-benar menyejukkan, kuputar berkali-kali.

Layar handphoneku menyala, ada pesan darinya.

“Tidur saja, aku masih lama. Maaf”, pesannya membuatku kesal, namun aku tidak boleh egois. Berada di forum lama-lama bukan keinginan ‘kan? Menyebalkan pastinya. Mendengarkan satu orang berbicara, kemudian lainnya berdebat.

“Iya, lanjutkan forumnya”, kubalas dengan tenang.

Aku putus asa. Kutarik selimut lagi, meski suhu tubuhku sudah membaik, aku mulai lelap diatas lagunya I Still Love You – The Overtunes. Pukul setengah sebelas malam, handphoneku bordering. Aku terbangun. Kali ini dari dia.

“Dimana? Aku tidak enak kalau harus kesana tengah malam. Gimana? Aku baru selesai”, suaranya lelah, pasti juga belum makan, kasihan.

“Di kos, gak usah, pintu kos sudah kututup, lampunya juga sudah kumatikan. Sudah malam, next time”, jawabku.

“Maaf ya”, katanya lirih.

“Maaf untuk apa? Aku ngerti kok. Gak usah bilang maaf”, kataku menenangkan bahwa aku baik-baik saja.

“Maaf sudah membuatmu menunggu”, katanya.

“Iya memang, menyebalkan. Aku tadi nunggu kamu di parkiran lama banget, kukira kamu sholat Maghrib di masjid. Ternyata di sebelah. Tapi yaudah gakpapa, santai aja. Yaudah kamu pulang aja, udah malam, nanti gak berani pulang lagi…”, jawabku.

“Berani, iya habis ini aku pulang langsung, tapi maaf ya”, katanya berkali-kali mengucap maaf.

“Iya, santai aja kali, ah”.

“Yaudah, aku pulang ya”, katanya menutup.

“Hati-hati”.

Merasa kesal dan sebal. Tapi untungnya mie ayam goreng tadi sudah jadi amunisiku. Aku gak akan kelaparan malam ini. Tapi sayang, makan malam ini harus tertunda, entah hingga kapan terealisasi. Yang pasti aku akan selalu menunggu waktu-waktu itu. Sekadar makan berdua di kos dengan lauk seadanya atau kemana saja yang penting berdua. Diatas motor melintas ditengah keramaian Kota Semarang yang sedang dihebohkan dengan adanya air mancur menari disalah satu jembatan.

Tidak apa bila makan malam ini sempat tertunda, aku paham dengan semua kesibukan yang kami punya sebagai aktivis mahasiswa yang harus kuliah dan berorganisasi, kemudian mulai memberikan kualitas waktu yang baik kepada satu dengan lainnya. Berusaha memahami apapun yang terjadi saat ini adalah untuk masa depan masing-masing dari kami.

 

Penulis : Gusti Bintang Kusumaningrum

Related Post

Taman Quersyla

Taman Quersyla

Dinding-dinding Istana Verloincha menjadi saksi bisu, menyaksikan kesendirian yang menghiasi kehidupan Putri Querzy Damancha. Terpaku…

Tinggalkan Balasan

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d blogger menyukai ini: