RUU Perlindungan Pembantu Rumah Tangga oleh Komnas Perempuan, Mengenang Perdagangan Budak dan Penghapusannya

RUU Perlindungan Pembantu Rumah Tangga oleh Komnas Perempuan, Mengenang Perdagangan Budak dan Penghapusannya

Terhitung sejak tahun 1997, Organisasi Pendidikan, Keilmuan dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa Bangsa (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization – UNESCO) menetapkan tanggal 23 Agustus sebagai hari Internasional untuk mengenang perdagangan budak dan penghapusannya.

Hal ini didasari karena selama perdagangan budak terjadi selama 400 tahun lamanya bahkan hingga abad ke-20. Sebanyak 15 juta manusia yang terdiri dari wanita, pria, bahkan anak-anak menjadi korban perdagangan budak pada saat itu. Hingga akhirnya pada tahun 1971 mulai muncul berbagai perdebatan dan pemberontakan untuk menghapus perbudakan yang marak terjadi. Meskipun perbudakan telah dinyatakan secara resmi dihapuskan di seluruih dunia, namun kenyataannya kita masih sering ditemui perbudakan modern yang ada di sekitar lingkungan kita.

Komnas Perempuan kemudian menyoroti penuh masalah ini, terutama pada keberadaan PRT ( Pembantu Rumah Tangga ). PRT diklaim menjadi salah satu kelompok yang rentan bersinggungan dengan perbudakan modern yang didasari oleh alasan upah rendah, jam kerja yang penuh seharian, penahanan berbagai dokumen, dan juga rentan terhadap hal-hal mengenai kekerasan dan eksploitasi.

Berdasarkan pengaduan yang masuk dalam JALA PRT terhitung hingga September 2019 lalu, Koordinator nasional JALA PRT Indonesia Lita Anggraini mengungkapkan ada sebanyak 317 laporan kasus kekerasan terhadap pembantu rumah tangga (Sumber: bisnis.com). Kejadian ini membuat Komnas Perempuan tergerak untuk terus mendorong DPR segera mengesahkan RUU Perlindungan PRT sebagai bentuk perlindungan dan pengakuan hukum terhadap PRT.

RUU dibuat berdasarkan aturan hukum tertulis yang telah ada sebelumnya yaitu pada Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun” . Ada pula beberapa pasal lain yang memperkuat, diantaranya ; Pasal 28 D ayat 1 dan 2, Pasal 20 UU Hak Asasi Manusia, UU No. 7 Tahun 1984 yang mengesahkan Konvensi Anti Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan dan UU No. 5 Tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Kemanusiaan.

Penulis: Isabella Khusnul Primasari

Ilustrasi: Almira Felicia Anjar

Editor: Almira Felicia Anjar

Related Post

Tinggalkan Balasan

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d blogger menyukai ini: