Can I Call U, Love? – #3 Sebelum Hujan Turun

Can I Call U, Love? – #3 Sebelum Hujan Turun

Seusai kelas, sore itu kami berdua masih tertinggal dengan beberapa mahasiswa lainnya. Ia menghampiriku dan mengajakku untuk makan siang, karena sebelum kelas ini, kami berdua belum sempat untuk makan siang.

“Makan yuk, aku yang traktir. Ada warung baru di belakang kampus”, ajaknya.

“Hmmm boleh kalo ditraktir mah ayok”, jawabku dengan sedikit bercanda.

“Kalau nggak aku traktir kamu mau aku ajak makan siang bareng ga?”, tanyanya balik.

“Mau, kalau ada duit hahaha”, aku memang masih menutupi keseriusanku.

Ia mengambil motor di parkiran, kemudian aku naik di motornya.

“Sudah?”, tanyanya.

“Sudah”, kataku.

“Kalau sudah, turun dong”, dia bercanda.

“Turun beneran nih”, kataku.

“Hahahaha, aku bercanda, ayo lah, dah laper bingitz nih”.

Di warung belakang kampus yang baru dibuka kemarin lusa itu, masih cukup sepi. Banyak meja kosong dan tampak masih baru sekali. Warung itu adalah sebuah warung masakan Jepang kesukaanku, kurasa ia tidak tahu, kalau saja ia tahu, sepertinya ia sudah mencari tahu lebih dulu soal ini.

“Aku bisa tebak, kamu akan pesan paket Irito ini, yang ada katsunya”, katanya.

“Kok kamu tahu? Gak jadi pesen itu ah, wlee”, jawabku sambil melet ke dia.

“Lah kenapa? Itu kesukaanmu ‘kan? Aku udah ramal itu kali”, ia heran.

“Kamu apaan sih, iya deh iya, aku pesen itu, Mas, Irito 1 ya”, jawabku sembari mengatakan pesananku ke pelayannya.

Entahlah darimana ia tahu kalau aku suka katsu, selama ini aku belum pernah makan dengannya di warung masakan Jepang. Diam-diam aku bertanya pada diriku sendiri, “apa ia selalu mengamati insta story ku, atau ia diam-diam bertanya teman dekatku”. Ah, terlalu jauh kurasa pemikiranku. Tapi tetap saja aneh, dan aku masih penasaran, bagaimana ia tahu hal sekecil itu.

Setelah makan, ia mengajakku untuk ke Swalayan sebentar, ia disuruh ibunya membeli sabun dan bumbu dapur, katanya. Ketika keluar dari Swalayan, tak terasa, hari sudah kian petang, ditambah gelapnya mendung yang menutupi kota Semarang sore ini. Aku sudah tampak kebingungan, apakah aku bisa pulang tanpa harus basah karena hujan atau malah sebaliknya.

“Aku anterin kamu pulang sekarang aja ya, mendung, aku kasihan sama kamu, nanti kamu sakit, kan anak kos gak ada yang ngerawat kalau nanti sakit, kecuali aku sih”, katanya. Kedengarannya bercanda, namun jika dicerna, kalimatnya mengajak serius.

“Ya, kalau kamu tega aku sakit ya nggakpapa sih… Kamu? Ngerawat aku? Hahahaha pantes tiba-tiba mendung gelap banget”, candaku.

“Aku serius, kalau kamu sakit, nanti aku yang ngerawat, eh enggak deh. Aku cuma anter kamu ke Poliklinik, terus aku suruh minum aja obatnya”, jawabnya dengan bercanda lagi.

“Sudah, ayo naik, aku anterin kamu pulang sekarang, aku gak mau anter kamu ke Poliklinik soalnya. Aku berubah pikiran”, katanya menambahi.

Dijalan menuju kos, angin sudah kencang menembus kulit meski sudah terbalut jaket.

“Kalau dingin, tanganmu masukin aja ke saku jaketku, jaketku ‘kan lebih tebal dari jaketmu”, katanya sambil teriak karena jalanan ramai dan berisik kendaraan yang ingin cepat sampai di rumah, terus menerus membunyikan klaksonnya atau berkali-kali menginjak gasnya sambil di blayer.

 

Penulis : Gusti Bintang Kusumaningrum

Related Post

Taman Quersyla

Taman Quersyla

Dinding-dinding Istana Verloincha menjadi saksi bisu, menyaksikan kesendirian yang menghiasi kehidupan Putri Querzy Damancha. Terpaku…

Tinggalkan Balasan

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d blogger menyukai ini: