Oleh : Noveryan Satria P.
“Ayah…” Ucapku sebelum berangkat kepada Ayah.
“Iya nak, ada apa?“ Jawabnya.
“Jaga diri ya, Yah. Semoga kita secepatnya bisa bertemu.“ Ujarku yang kemudian bergegas pergi menaiki bus yang siap berangkat melakukan perjalanan.
Tahun 2005 menjadi akhir kisahku sebagai seorang pelajar. Saat itu, aku hanyalah seorang remaja yang terpaksa putus sekolah demi membantu perekonomian keluarga. Tahun itu pula, yang menjadi awal kisahku memulai kehidupan baru di tanah rantau. Namaku Encim, tapi orang-orang sering memanggilku I’im, mungkin nama itu yang mudah diingat dan dilafalkan.
Tiga tahun sudah aku merantau untuk bekerja sebagai buruh pabrik di Jakarta. Aku hanyalah lulusan SMP yang terpaksa berhenti sekolah ketika duduk di bangku kelas 2 SMA. Aku ini anak pengrajin tempe, dan ya.. dia itu Ayahku. Lalu, ada Ibuku yang bekerja serabutan untuk membantu urusan rumah tangga. Aku sendiri anak ke-3 dari 5 bersaudara, yang lahir di salah satu kota penghasil batik terbaik di Jawa Tengah.
Setelah 3 tahun hidup di perantauan, Aku pun pulang ke kampung halaman dan melihat keadaan disana. Tak kusangka Aku melihat Ayah di jalan.
“Ayah…” teriakku setelah turun dari terminal dan melihat Ayah sedang mengayuh sepeda. Sepeda itu membawa keranjang dibelakang yang berisikan tempe dan akan dibawa ke pasar.
Ayah hanya terdiam, seakan tak mendengar suaraku. Tiba-tiba sebuah minibus terlintas dari arah kiri dan membuatku menunggu untuk bisa mengejarnya. Sesaat setelah mencoba mengejar, Aku tidak berhasil dan Ayah pun berlalu begitu saja. Aku berpikir, mungkin aku harus pulang ke rumah untuk beristirahat lalu menunggu Ayah pulang dari pasar, karena Aku juga tidak mau mengganggunya bekerja.
Aku berjalan langkah demi langkah mendekati rumahku yang di kelilingi oleh rerumputan hijau. Sesampainya disana, riuh suasana rumah menyambut kedatanganku. Senang sekali… rasanya penat yang hinggap di badanku seakan sirna setelah melepas rindu yang terpendam. Aku pun membersihkan diri dan rehat sejenak sambil berbincang dengan Ibuku.
“Bu, Aku kangen Ayah. Apakah kita nanti bisa bertemu ya, Bu?“ tanyaku kepada Ibu.
“Iya nanti sore, kita ketemu Ayahmu ya, Im.” Jawab Ibu, sambil menantapku.
“Iya, Bu.” Ucapku sambil beranjak menuju meja makan dan mengambil makanan yang sudah dimasak oleh ibu.
Tak sabar aku bertemu dengan Ayah, rasa antusiasku sore itu memuncak. Waktu yang ditunggu pun tiba, Ibu, Aku dan Adik-adik akhirnya bisa bertemu dengan Ayah. Air mataku seketika menetes membahasi pipi saat memeluk ayah.
“Yah, I’im pulang sekarang, I’im janji akan meneruskan perjuangan Ayah yang dulu pernah Ayah perjuangkan untuk I’im.” Ucapku lirih kepada Ayah.
Itulah kalimat yang kuucapkan dimakam Ayah. Sebetulnya, Ayah telah meninggalkan kami setahun yang lalu. Akan tetapi, Aku tak sempat pulang atau bahkan melihat detik – detik terakhir hidupnya di dunia. Sesaat aku tiba di makam Ayah, Aku langsung memeluk nisannya dan melepas kerinduanku.
“Yah, ucapan I’im yang terakhir diucapkan, kini sudah terwujud, Yah. Walaupun sekarang kita terpisah oleh dunia yang berbeda, tapi I’im akan selalu mengingat Ayah dan perjuangan Ayah hingga kapanpun.” Ujarku sembari memeluk erat nisan Ayah.
Itulah ceritaku 10 tahun yang lalu, kala Aku melepas kerinduan kepada Ayah. Saat itu komunikasi tidak semudah saat ini.
Momen yang terjadi kala Aku pulang dari tanah rantau ternyata adalah ilusi yang tercipta dariku sendiri.
Kini, setelah perjuangan dan banyaknya rintangan yang telah dilalui, akhirnya Aku mampu hidup berkecukupan berkat usahaku sebagai pengrajin tempe. Kini Aku telah berhasil membuat tempe semakin terkenal di dunia. Setelah Aku berjuang dan memasarkan tempe sedikit demi sedikit, akhirnya Aku berhasil membawa usaha ini bisa bersaing secara global. Sudah saatnya makanan khas Indonesia mendunia.
Tentunya semua ini tak lepas dari doa orang tua dan perjuangan Ayah dulu. Hingga akhirnya, apa yang kulakukan bisa membanggakan orang tua dan keluarga.
Editor: Safira Nur Ujiningtyas