Kayu Jati Tak Bernyawa

Kayu Jati Tak Bernyawa

Kusaksikan derai an air hujan yang jatuh di tempat sunyi itu lagi. Kurasakan tiap kesedihan nenek ku seorang diri terduduk di jubin-jubin tak beratap di bawah temaram langit kelabu. Suara samarnya membaca surah kitab suci Al-Quran bercampur pilu tangis dan hujan semakin memadu adu di telinga. Kucoba mengingat jauh sebelum ini terjadi. Pagi itu menjadi pagi yang kutunggu bagiku, mamah menyuruhku tuk bangun lebih awal agar pergi bersamanya ke toko bahan kue. Ya, hari ini 28 Oktober ulang tahunku yang genap sepuluh tahun. Entah mengapa Mamah bersedia membuatkanku seloyang kue tart coklat yang sudah kubayangkan bentuk dan rasanya. Mamahku memang jago masak, sedari kecil apapun makanan yang muncul di televisi ia bisa membuatkannya untukku. 

Hari itu aku juga mempersiapkan baju terbaikku untuk potong kue, sebuah dress batik dan jepit rambut bunga ku setrika dan kugantung setelahnya. Aku bergegas mandi, sebab sore telah tiba. Kuundang 3 sahabat dekat ku untuk hadir sore itu. Nyala lilin membuatku menutup mata, perlahan kuucap doa untuk ku dan keluarga tercinta. Tak ingat pasti yang kuucap apa di hati saat itu.

Setelah acara sederhana itu, kulalui malam bersama mamah mengobrol di kasur. Topik apapun itu. Disela-sela tawa kami suara telepon  memecah keheningan, kutilik pukul sepuluh malam pas. Ku berikan ke mamah telepon itu, terdengar suara sendu dan terbata bata. Ucapan pertama yang aku dengar adalah, “Papa engga ada”. Bak laut yang memecah karang, mamah berteriak histeris. Kebingungan terlihat diwajah ku malam itu. 

Ya. Kakek telah tiada. Hancur. Hampa. Tertikam rasanya melihat sekitarku kalut di kondisi itu.

Suara nenek ku memecah rentetan ingatan masa lalu itu. Hujan kembali deras, bergegas ku buka payung untuknya yang sedang duduk disamping makam kakek. Tempat bersemayam nya terlihat bersih, bukan batu nisan atau keramik kuburannya, melainkan kayu jati yang polos coklat. Dalam riuh nya air hujan dan suara doa nya ku menatap tempat terakhir yang bisa ditemui nenek ku untuk mengadu ke setengah hidupnya itu. Piluh suaranya mengucap “Pah mamah datang lagi,” di tiap ia menyambangi kuburan itu. Hanya aku dan nenek disana. Dibawah hujan. Diatas kayu jati tak bernyawa.

Penulis : Dinda Nabila Setiana

Ilustrasi: Pinterest

Editor: Maulidya Aisyah Hamidah

Related Post

Tinggalkan Balasan

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d blogger menyukai ini: