
Banjir besar melanda Kota Binjai, Sumatera Utara, pada Rabu, 26 November 2025, setelah hujan berintensitas tinggi mengguyur wilayah tersebut. Tiga sungai seperti Sungai Bingai, Mencirim, dan Bangkatan meluap dan menenggelamkan pemukiman warga. Sedikitnya 5.818 Kepala Keluarga (19.349 jiwa) dari 21 kelurahan di lima kecamatan terdampak bencana ini. Tidak hanya banjir, longsor di sejumlah titik memperparah keadaan dan mengungkap persoalan lingkungan yang selama ini diabaikan.
Krisis Ekologi dan Curah Hujan Ekstrem
Banjir dan longsor yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera Utara pada waktu belakangan ini bukan sekadar fenomena cuaca, melainkan wujud nyata dari krisis ekologis yang mendalam. Musibah ini membawa duka bagi ribuan keluarga. Pertanyaan mendasar muncul, mengapa intensitas bencana meningkat begitu parah?
Salah satu faktor utama adalah kombinasi antara curah hujan ekstrim dan kerusakan hutan di kawasan hulu. Alih fungsi lahan dan deforestasi di daerah aliran sungai (DAS) telah merusak fungsi protektif alam. Kapasitas tanah untuk menyerap air menurun drastis, sehingga limpasan air terjadi dengan cepat dan masif. Tanpa penyangga alami, hujan deras berubah menjadi banjir bandang dan longsor yang menyerang pemukiman di hilir tanpa ampun. Keadaan ini menunjukkan bahwa kelalaian dalam mengelola lingkungan telah menjadi penentu utama yang memperparah tragedi.
Dampak Kemanusiaan dan Kehilangan Tak Tergantikan
Bencana ini membawa dampak berat pada kehidupan masyarakat. Ratusan rumah dan fasilitas publik rusak atau hilang tersapu arus air dan material longsor. Ribuan warga terpaksa mengungsi dan tinggal di posko darurat, menghadapi ketidakpastian dan masa depan yang belum jelas.
Di luar kerugian materiil, banyak keluarga menanggung beban kehilangan anggota, rumah, dan mata pencaharian yang mereka bangun selama bertahun‑tahun. Selain itu, ancaman jangka panjang seperti sedimentasi sungai dan potensi bencana susulan menjadi momok bagi keberlanjutan hidup masyarakat terdampak. Situasi ini membutuhkan penanganan segera, terstruktur, dan berfokus pada pemulihan harkat kemanusiaan.
Tanggung Jawab Kolektif Pemerintah, Pelaku Industri, dan Civitas Akademik
Tragedi ini seharusnya dipahami sebagai kegagalan kolektif, bukan sekadar gejala alam. Penyebabnya berasal dari cuaca ekstrem dan kelalaian dalam pengelolaan lingkungan, termasuk lemahnya regulasi terhadap deforestasi, alih fungsi lahan, dan aktivitas ekstraktif telah memperburuk krisis.
Tanggung jawab atas pemulihan dan pencegahan ke depan tidak bisa hanya dibebankan kepada masyarakat terdampak. Pemerintah perlu memperkuat regulasi dan penegakan hukum terhadap praktik destruktif. Pelaku industri harus menjamin praktik yang berkelanjutan. Sementara itu, masyarakat dan civitas akademik memiliki peran penting untuk bertindak sebagai agen advokasi dan pengawas demi keadilan ekologis dan keberlanjutan.
Belasungkawa dan Seruan Solidaritas dari Dunia Kampus
Atas nama kemanusiaan, saya dan seluruh rekan di organisasi jurnalistik kampus menyampaikan belasungkawa dan rasa solidaritas terdalam kepada seluruh korban dan keluarga yang ditinggalkan. Semoga para penyintas diberikan ketabahan dan bantuan yang layak segera menjangkau mereka.
Kepada mahasiswa, dosen, dan civitas akademik lainnya, mari jadikan duka ini sebagai momentum untuk meningkatkan kesadaran lingkungan, memperkuat advokasi, dan mewujudkan tindakan nyata demi keadilan sosial dan keberlanjutan alam.
Harapan untuk Masa Depan Edukasi, Aksi, dan Komitmen Bersama
Semoga tragedi ini menjadi panggilan moral bagi kita semua. Mari tingkatkan edukasi lingkungan, dorong kebijakan pro‑lingkungan, dan praktikkan tanggung jawab kolektif terhadap alam. Dengan komitmen bersama kita dapat melindungi hak hidup masyarakat dan menjaga masa depan generasi mendatang dari ancaman krisis ekologi.
Penulis: Shazia Mirza dan Aiska Muti Salsabila
Editor: Anissa Cardina
Dokumentasi: tempo.co
