
Namaku Naviena Nadya Atharenza, sering dipanggil Nana. Orang-orang mengenalku sebagai gadis yang hiperaktif dan suka bercanda. Kadang ceroboh, tapi bukan berarti aku tak punya kelebihan. Selain aktif di kelas, aku juga lumayan jago bela diri dan cukup pintar. Teman-temanku sering bercanda, katanya aku ini paket lengkap yang aneh, bisa pintar, tapi juga receh.
Masa-masa SMA adalah awal dari kisahku yang tak pernah kuduga. Hari itu, SMA Pelita Megantara sedang bersiap menyambut siswa baru melalui acara MOS. Dengan langkah terburu-buru, aku berlari kecil di sepanjang koridor sekolah, menuju kamar mandi. Sialnya, kebiasaan cerobohku kambuh. Aku menabrak seseorang hingga tubuhku terhempas ke lantai.
“Aduh, maaf ya, Kak,” ucapku, sedikit kesal karena tidak dibantu berdiri.
“Bodoh,” gumam lelaki itu dingin, lalu berlalu begitu saja tanpa menoleh.
Aku hanya bisa menggerutu dalam hati. Tipe cowok seperti itu, dingin dan acuh, jelas bukan tipeku. Tapi entah kenapa, aura misteriusnya justru membuatku penasaran.
Setelah insiden itu, aku kembali ke aula. Di sana, bersama sahabatku, Verra, aku menceritakan kejadian barusan. Tak lama kemudian, acara MOS dimulai. Wakil Ketua OSIS membuka acara dengan ramah, lalu memperkenalkan Ketua OSIS yang langsung mencuri perhatian semua orang, termasuk aku.
Dia masuk ke aula dengan wajah datar, tanpa ekspresi. Seisi ruangan mendadak hening, seolah hanya dia satu-satunya yang layak dipandang. Baru aku sadari, dialah cowok yang kutabrak di koridor tadi. Namanya Benua Adriano Regaind. Wajahnya tampan, namun sikapnya dingin dan terkesan tak bersahabat.
Acara MOS berjalan lancar. Aku dan Verra ternyata tak sekelas; aku masuk X-IPS 1, sementara Verra di X-IPS 3. Rasanya aneh, harus berpisah dengan sahabat yang selalu ada sejak SD. Namun, aku mencoba berdamai dan berkenalan dengan teman baru. Di kelas, aku duduk bersama Intan, gadis ramah yang langsung akrab denganku. Karena dianggap pintar dan aktif, aku didaulat menjadi wakil ketua kelas meskipun awalnya aku berusaha menolak.
Hari-hari MOS berlangsung melelahkan. Suatu pagi, saat berjalan ke sekolah, aku melihat Benua di pinggir jalan, tampak kesulitan dengan motornya. Aku memberanikan diri menyapa, menawarkan bantuan. Awalnya ia diam saja, tapi akhirnya menerima bantuanku mengantar ke bengkel terdekat.
Dalam perjalanan menuju sekolah, suasana di antara kami canggung dan hening. Aku mencoba membuka percakapan, tapi ia hanya menjawab singkat. Tipe cowok seperti ini biasanya aku hindari, tapi anehnya, justru rasa penasaranku bertambah. Setelah sampai sekolah, dia malah ikut berjalan bersamaku, walau lebih banyak diam.
Hari berikutnya, aku kembali ceroboh—bangun kesiangan, tergesa-gesa, sampai lupa mengikat tali sepatu. Akibatnya, aku harus dihukum lari keliling lapangan karena terlambat. Benua yang bertugas sebagai pengawas MOS tanpa ampun menambah jumlah putaranku. Aku kelelahan hingga pingsan, dan saat sadar sudah berada di UKS, dijaga oleh teman-teman baruku.
Belakangan aku baru tahu, ternyata Benua yang membawaku ke UKS. Hal itu membuat pipiku memanas, walau aku pura-pura cuek di depannya.
Acara MOS berakhir sore itu. Sebelum pulang, Benua menghampiriku. “Maaf soal tadi,” katanya, suaranya jauh lebih lembut dari biasanya.
“Enggak apa-apa, aku juga salah kok,” jawabku santai.
Ia menatapku sebentar. “Kamu pulang sendiri?” tanyanya.
Aku hanya mengangkat bahu. “Emang kenapa, Kak?”
“Kalau mau, aku antar,” ucapnya pelan, hampir seperti bisikan.
Aku terdiam, sedikit terkejut dengan tawaran itu. Dari gosip yang kudengar, Benua dikenal sangat tertutup, bahkan menjauhi perempuan. Namun, hari itu dia menawariku sesuatu yang tak pernah kulupa—perhatian kecil yang membuatku mengerti, di balik sikap dinginnya, ada sisi lain yang ingin ia sembunyikan.
Mungkin, inilah awal kisahku yang sebenarnya—belajar mengenal seseorang bukan dari apa kata orang, tapi dari setiap sikap kecil yang ditunjukkannya. Aku sadar, tak selamanya yang dingin itu tak bisa mencair. Kadang, seseorang hanya butuh alasan untuk mulai membuka diri. Dan tanpa kusadari, akulah alasannya.
Penulis : Nadya Sekar Nalaratih
Editor : Annisa Cardina Kamilia Aziz
Dokumentasi : Pinterest