Belakangan ini, kasus intimidasi terhadap jurnalis kian meningkat dan menjadi sorotan tajam di tengah iklim demokrasi yang seharusnya menjunjung tinggi kebebasan berekspresi dan kemerdekaan pers. Jurnalis sebagai pilar keempat demokrasi memiliki peran penting dalam menyampaikan informasi yang akurat, kritis, dan independen kepada publik.
Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa profesi ini tidak sepenuhnya terlindungi, bahkan kerap menjadi sasaran tekanan, ancaman, dan kekerasan.
Berikut beberapa kasus intimidasi Jurnalis di Indonesia:
1. Redaksi Tempo
Pada Maret 2025, redaksi Tempo menerima paket berisi kepala babi dan enam bangkai tikus tanpa kepala, dibungkus kertas kado bermotif bunga mawar merah. Teror ini diduga terkait liputan investigasi Tempo mengenai revisi Undang-Undang TNI dan skandal politik lainnya.
2. Jurnalis di Ternate
Pada 24 Februari 2025, dua jurnalis, M. Julfikram Suhadi dari Tribun Ternate dan Fitriyani Safar dari Halmahera Raya, mengalami kekerasan fisik oleh anggota satpol PP saat meliput aksi demonstrasi ‘Indonesia Gelap’ di depan Kantor Wali Kota Ternate. Julfikram dipukul, diinjak, dan ditendang, sementara Fitriyanti mengalami luka sobek di bibir.
3. Jurnalis ProgreSIP
Pada 1 Mei 2025, jurnalis ProgreSIP berinisial Y mengalami kekerasan saat meliput aksi `May Day` di depan Gedung DPR RI. Sekitar 10 orang berpakaian bebas yang diduga anggota polisi mengeroyok Y dengan memukul, mencekik, dan memiting lehernya. Mereka juga memaksa Y menghapus rekaman liputan.
4. Diskusi Mahasiswa UIN Walisongo Semarang
Pada 14 April 2025, aparat berseragam mendatangi dan mengintimidasi peserta diskusi bertema “Fasisme Mengancam Kampus” di Universitas Islam Negeri (UIN) Semarang. Diskusi digelar oleh Kelompok Studi Mahasiswa Walisongo (KSMW) dan Forum Teori dan Praksis Sosial (FTPS) di area kampus.
Kasus-kasus di atas menunjukkan urgensi perlindungan hukum dan struktural bagi jurnalis di Indonesia. Meski Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999 menjamin kebebasan pers, pelaksanaannya jauh dari kata ideal. Perlu adanya mekanisme yang kuat untuk menindak tegas pelaku intimidasi dan kekerasan terhadap jurnais, baik dari kalangan sipil, aparat negara, maupun tokoh politik.
Kebebasan pers adalah fondasi demokrasi yang sehat. Tanpa jurnalisme yang bebas dari tekanan dan ancaman, suara publik akan redup dan kekuasaan bisa berjalan tanpa kontrol. Melindungi jurnalis berarti menjaga demokrasi tetap hidup.
Penulis : Aiska Muti Salsabila
Editor : Cantika Caramina
Dokumentasi : CNN Indonesia