Surat dari Santa di Pelukan Namsan

Surat dari Santa di Pelukan Namsan

Saat butiran salju turun lembut di atas atap rumah, Jiang Nanxi, seorang gadis kecil berusia tujuh tahun, tertidur dengan memeluk boneka rusa kecilnya erat-erat sambil meringkuk di bawah selimut. Xixi membuka matanya lebar-lebar. Ia mendapati dirinya berdiri di tempat yang sangat asing namun membuatnya hangat. Seorang pria berjanggut putih, mengenakan mantel merah yang terlihat berat, namun wajahnya tampak muram dan matanya sedikit redup, mendekatinya secara perlahan.

“SANTA!” serunya dengan riang, suaranya melengking penuh semangat.

“Xixi,” katanya lembut, “aku sedang sakit. Bisakah Kau membantuku memberikan hadiah kepada keluargamu?”

Mata Xixi terbelalak, mulutnya sedikit terbuka, seolah tak percaya dengan apa yang didengarnya. Tanpa berpikir panjang, ia mengangguk mantap.

Ia terbangun dengan mata yang masih setengah terpejam, perlahan mencerna apa yang baru saja dialaminya. Ia duduk di ranjang sambil menatap langit-langit kamar dengan ekspresi penuh keheranan.

Kemudian, ia segera berlari ke ruang keluarga, tempat ayah dan ibunya sedang menikmati secangkir kopi hangat.

“Mama, Papa!” teriaknya dengan antusias, “Santa sedang sakit sehingga menyuruhku untuk menggantikannya memberikan hadiah.”

Kedua orang tuanya saling memandang, lalu tersenyum kecil. 

“Oh, Xixi sayang,” ujar ayahnya sambil mengacak rambutnya, “itu terdengar seperti cerita yang sangat seru!” 

Ibunya tersenyum lebar, lalu berkata, “Kau memang selalu punya imajinasi luar biasa.”

Tapi bagi Xixi, itu bukan sekadar cerita. Kata-kata yang diucapkan oleh Santa itu terasa nyata dalam benaknya, seperti petunjuk yang harus ia ikuti. Sambil memandang keluar jendela, ke arah salju yang berkilauan di bawah sinar matahari, ia mulai berpikir keras. 

Jika Santa benar-benar membutuhkan bantuannya, maka ia tidak boleh mengecewakannya. “Aku harus mulai sekarang,” gumamnya penuh tekad.

Xixi segera mengambil ponsel dan mencoba menghubungi kakaknya yang sedang berkuliah di Seoul National University, Korea. Dengan semangat, ia menceritakan setiap detail mimpinya tentang pertemuan dengan Santa. Ia ingin tahu apa yang harus dilakukannya, mencari jawaban atas perasaan bingung yang tiba-tiba melanda. Tak lama kemudian, Ruoli membalas dengan saran yang sederhana namun penuh pertimbangan. 

Kenapa tidak coba membuat dan menjual gantungan tas manik-manik?

Aku ingat kamu selalu suka membuat kerajinan tangan. Itu bisa menjadi langkah pertama untuk mewujudkan mimpimu.

Xixi membaca pesan itu dengan hati yang berdebar, merasa sedikit lebih jelas tentang apa yang harus dilakukan selanjutnya.

*****

Udara di ruangan itu seperti membeku. Hening meresap hingga ke sudut ruangan, menyisakan detakan-detakan jam sebagai latar. Di sudut sofa, Ruoli duduk bersandar dengan ponsel di tangannya. Ia membaca pesan yang baru saja muncul, membuat sudut bibirnya terangkat perlahan, hingga senyum kecil merekah di wajahnya.

Dari dapur, Xiao Rui, membawa dua cangkir teh hangat ke arah pacarnya. Ia berhenti di ambang pintu, memiringkan kepala saat melihat Ruoli tersenyum kecil sambil menatap ponselnya. Rui mengerutkan dahi, tak kuasa menahan rasa penasaran.

“Apa yang membuatmu tersenyum seperti itu Lili?” tanyanya sambil berjalan mendekat dan menaruh cangkir di meja.

Ruoli tersentak kecil, segera menyembunyikan ponselnya di pangkuan. Akan tetapi, senyum yang tersungging di wajahnya tak bisa ia sembunyikan, malah semakin lebar.

“Ah, tidak apa-apa,” jawabnya pelan dengan suara lembut, seolah ada sesuatu yang hanya ia mengerti.

Rui duduk di sampingnya, memiringkan kepala dengan ekspresi penasaran. 

“Hmmm, masa iya tidak ada apa-apa? Jangan-jangan kamu lagi balas pesan cowok lainnya ya?” godanya, berusaha mencairkan suasana.

Ruoli menggelengkan kepala dan menjelaskan isi pesan adiknya.

*****

Selama beberapa hari terakhir, Xixi sibuk mengumpulkan uang dengan penuh semangat. Setelah cukup terkumpul, uang itu ia gunakan untuk memulai bisnis kecilnya, yaitu membuat dan menjual gantungan tas dari manik-manik. Siapa sangka, teman-temannya begitu antusias, bahkan berbondong-bondong membeli dan memesan hasil kreasinya.

Memasuki pertengahan Desember, Xixi merasa usahanya tak sia-sia. Hasil jerih payahnya sudah cukup untuk membeli hadiah-hadiah yang telah ia rencanakan. Dengan penuh cinta, ia membungkus setiap hadiah dengan kertas berwarna cerah dan dihiasi pita. Ia membayangkan wajah Bahagia orang-orang yang akan menerimanya sehingga membuatnya semakin bersemangat.

Ketika malam Natal tiba, ia sengaja bangun di tengah malam. Anggota keluarganya sudah terlelap dan hanya lampu-lampu kecil di pohon Natal yang berkelap-kelip di ruang tengah. Perlahan, ia mengangkut hadiah-hadiah dari kamarnya di atas dengan hati-hati menuju pohon Natal. Ia memastikan semuanya tersusun rapi di bawahnya, seolah-olah Santa Claus telah datang lebih awal.

Tanpa ia sadari, kedua orang tuanya mengintip dari balik pintu, memperhatikan dengan senyum lembut saat putri kecil mereka menyusun hadiah-hadiah di bawah pohon Natal. Mereka memilih untuk tidak mengganggu, membiarkan putri mereka menyelesaikan aksinya dengan penuh semangat demi membahagiakan keluarga.

Keesokan paginya, rumah itu dipenuhi gelak tawa dan keceriaan. Dengan mata berbinar dan senyum lebar, Xixi berlari ke ruang tengah sambil berseru, “Santa sudah datang! Lihat hadiah-hadiahnya!”

Suaranya menggema, membangunkan seluruh keluarga yang masih terlelap. Antusiasmenya menyebar, mengubah pagi itu menjadikan Natal sebagai momen penuh keceriaan yang tak terlupakan. Setiap hadiah diterima dengan senyum hangat dan pelukan penuh cinta. 

Akan tetapi, tersisa satu hadiah paling besar yang masih terbungkus rapi. Hadiah itu ia siapkan khusus untuk kakaknya yang sedang berkuliah di Korea. Ia menyerahkan hadiah tersebut kepada Meilia, ibunya.

“Kalau Kakak pulang nanti, tolong berikan ini padanya,” ucapnya penuh harap. 

Matanya menatap kertas hadiah itu seolah menyampaikan pesan yang tak terucap.

Namun, Meilia menggeleng sambil tersenyum lembut. “Kau berikan sendiri saja.”

Xixi terdiam sejenak, lalu menggeleng pelan. “Mama tahu aku tidak punya banyak waktu,” bisiknya lirih. 

Air mata mulai membayang di mata Meilia, tapi ia tetap tersenyum. “Tidak, Sayang. Kau pasti bisa memberikannya sendiri. Percayalah,” jawabnya sambil menggenggam tangan putrinya dengan penuh keyakinan.

Malam itu, suasana yang awalnya ceria tiba-tiba berubah menjadi penuh kecemasan. Xixi tiba-tiba jatuh pingsan di tengah ruangan. Tubuh mungilnya terkulai, membuat keluarganya segera bergegas membawanya ke rumah sakit terdekat. Dalam perjalanan, Meilia menggenggam tangan putrinya erat-erat.

Sesampainya di rumah sakit, dokter segera memeriksa anak itu, namun wajahnya mengisyaratkan berita buruk. Setelah beberapa saat, ia keluar dari Instalasi Gawat Darurat (IGD) dengan sorot mata penuh kesedihan. 

“Kami sudah berusaha, tapi dia tidak tertolong,” ucapnya dengan nada berat. 

Kata-kata itu menghantam seperti badai, meninggalkan kehampaan yang tak tergantikan dalam hati keluarga.

Hari pemakaman diguyur gerimis, seolah langit ikut menangis. Sang kakak akhirnya tiba setelah perjalanan panjang dari Korea, namun ia hanya bisa berdiri di tepi makam, menatap nisan adiknya yang masih baru. Ia tak sempat melihat wajah adiknya untuk terakhir kali. Saat kembali ke rumah, ibunya menyerahkan sebuah hadiah mungil yang ditinggalkan adiknya, tangannya gemetar. Dengan hati pilu, ia membuka isi hadiah tersebut. Dalam hadiahnya terselipkan surat-surat penuh cinta dan harapan yang tak pernah sempat diucapkan langsung oleh sang adik.

*****

Di bawah sinar lampu Menara Namsan yang berkilauan, Ruoli berdiri di samping pacarnya, menikmati malam Natal yang dingin. Ia tersenyum tipis sambil menceritakan kembali kenangan tujuh tahun lalu. Rui menatapnya penuh perhatian, mendengarkan dengan seksama. Ruoli juga menunjukkan surat terakhir dari Xixi.

“Setiap Natal, aku selalu membaca surat ini.”  

“Xixi berharap jika ia pergi meninggalkan dunia ini, keluarganya akan selalu bahagia dan merelakannya. Ia juga tidak ingin aku menyalahkan diri karena tidak menemaninya di saat terakhirnya.”

“Aku teringat ketika akan berangkat ke Korea, Xixi selalu menyisipkan surat ke dalam tasku. Surat-surat darinya telah kutumpuk di kotak besar. Aku juga selalu membalas suratnya saat kembali ke rumah.”

Rui menggenggam tangannya erat, seakan ingin menguatkan, ditemani angin malam Korea yang menyapu lembut.

Suasana malam di Menara Namsan semakin meriah saat suara kembang api mulai menggema di langit. Warna-warna cerah menyala, menghias langit malam dengan keindahan yang memukau. Ketika langit kembali dihiasi ledakan warna-warni, tulisan besar mulai terlihat di antara percikan api.

Will you marry me?

Ruoli menatap tulisan itu dengan takjub.

“Lihat! Ada yang melamar.” Ucapnya riang sambil menunjuk ke arah langit.

Tiba-tiba, pria di sebelahnya mengambil tangannya dengan lembut. Ia berlutut di hadapan Ruoli sehingga menarik perhatian semua orang di sekitar mereka. Dengan tangan yang sedikit gemetar, Rui mengeluarkan sebuah kotak kecil berisi cincin dari sakunya. Tatapan matanya penuh keyakinan, namun senyum gugupnya menunjukkan betapa berharganya momen ini.

Nawa gyeolhonhae jullae-yo?” tanyanya dengan suara mantap. Namun setelah itu, hatinya dipenuhi keraguan.

“Aku tahu, mungkin ini bukan waktu yang tepat untuk melamarmu. Di hari Natal, kamu selalu mengenang adikmu dan menyalahkan dirimu sebagai kakak yang buruk. Tujuh tahun lalu, kamu memilih tidak pulang ke rumah dan merayakan Natal bersamaku. Menara Namsan menjadi saksi cinta kita dan saksi dari kehilangan Xixi. Berikan aku kesempatan untuk menjadi obat dukamu. Aku ingin mengubah Natalmu kembali penuh kebahagiaan.”

Kerumunan di sekitar mereka terdiam sejenak, menantikan jawaban.

Sekali lagi, Rui menanyakan proposal pernikahannya dengan menggunakan bahasa asalnya. “Nǐ yuànyì jià gěi wǒ ma?”

Mata Ruoli mulai berkaca-kaca dan bibirnya bergetar seolah mencoba menyusun kata-kata. Setelah beberapa detik yang terasa seperti seabad, ia mengangguk pelan sambil tersenyum lembut. 

Wǒ yuànyì!” jawabnya dengan suara penuh haru.

She said yes!” ucap Rui dengan lantang hingga terdengar di telinga orang-orang yang melihat mereka.

Kerumunan orang itu bertepuk tangan.

Rui bangkit, mengenakan cincin ke jari manis pasangannya. Mereka saling berpelukan erat, seolah dunia hanya milik mereka berdua. Kilauan kembang api di langit seakan memberkati momen bahagia mereka, sementara ponsel orang-orang di sekitar mulai mengabadikan momen romantis itu.

Natal yang selalu kuhabiskan bersama keluarga kini terasa berbeda sejak tujuh tahun lalu. Ada kerinduan yang tak bisa kutahan untuk merayakan Natal bersama Rui. Tidak tahu apa alasannya, aku hanya ingin berada di sisinya. Aku ingin bersamanya selamanya.

Natal kali ini bukan hanya tentang kenangan, tapi juga tentang awal dari sebuah perjalanan baru bersama.

*****

Tamat

Penulis: Aiska Muti Salsabila

Editor: Maulidya Aisyah Hamidah

Gambar: Canva

Related Post

Tinggalkan Balasan

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d blogger menyukai ini: