Haiii….semuanya sebut saja aku Aisha si pendiem. Selamat berlibur akhir semester. Hari ini aku akan bercerita tentang Kisah kampus ku di tahun 2022. Beranjak umur 20 tahun dan 19 tahun telah ku lewati. Banyak cerita, manusia, dunia, rasa, suka, duka, cita, dan cinta. Sebelum genap berumur 20 tahun, statusku di masyarakat telah bertransformasi menjadi mahasiswa, tapi itu tetap bukan seluruh realitas yang ada. Nyatanya realitas tak sekeren yang dikatakan, banyak cerita yang tersembunyi di lubuk hati.
Memori ini memang tak jarang yang lepas dari genggam kesadaran, hingga mungkin tak suka jika dipanggil ke permukaan, tapi mereka ada, di sana. Hingga semester tiga berakhir, rasanya semua cukup berjalan dengan baik, indeks prestasi baik, kehidupan sosial baik, dan hal lain seperti waktu luang terpakai dengan cukup baik. Tak banyak variasi pada durasi satu setengah tahun ini. Kebanyakan hanya kuliah diselimuti memori yang menusuk hati, tak jarang konsep terlepas kala dibutuhkan hanya karena fokusku terbagi, tak terpungkiri, aku makin buruk dalam sosialisasi. Tak ada kedekatan yang mampu membangkitkan aku sebagai sesuatu yang ada dengan demikian.
Lantas bagaimana dengan kerja dan cinta? Sayangnya, tidak ada. Jangankan dua hal belakangan itu, untuk yang pertama saja aku nyaris tak mampu. Satu bulan yang lalu, ada tawaran pekerjaan untukku, menjadi seorang guru bimbel. Awalnya aku setengah minder soal ini, tapi terbayang bagaimana aku menghasilkan pundi-pundi rupiah dari kaki-tangan dan badanku, serta pikiranku. Urusanku bertambah, aku punya pekerjaan, hal yang baru untuk hidupku yang saat ini menjajaki usia ke-20.
Sejatinya Semester ini baru saja berakhir, mulus untuk perkuliahan, namun tak demikian untuk percintaan. Konyolnya, aku harus putus dua kali dalam kurun waktu tak sampai enam bulan. Desember cintaku kukandaskan dengan pria berbadan tinggi di ufuk timur. Demikianlah, pada akhirnya aku dibuangnya karena tak lagi berguna apalagi asik sebagai mainan. Pada akhirnya aku yang menggigil tanpa kata dan air mata, sementara dia, sama saja dengan seseorang dari masa laluku, walau dia bilang tak akan seperti itu. Percayalah, tak semua bisa jujur dalam kata-kata. Aku memang keracunan, tapi aku tidak mati. Dari semua itu, aku punya harapanku sendiri, kendati masa depan selalu tak pasti.
Penulis: Dwi Purwanty
Editor: Maharani Sabila