Aku wanita pemimpi yang lahir dari patah hati, berteman dengan luka sudah menjadi keseharianku. Sehingga aku mulai terbiasa dengan diriku yang mungkin akan sangat berbeda dengan orang lain. Lahir di lingkungan yang keras membuatku menjadi batu tetapi juga melahirkan sifat air di sisi yang berbeda. Tetapi, aku tidak pernah membenci semesta atas apa adanya diriku di hari ini dan kemarin. Semua itu mendewasakanku.
Namaku Ayu Larasati, nama itu pemberian dari Alm. Kakekku. Kalian pasti bertanya mengapa tidak Ayahku yang memberiku nama? Sama aku juga sering bertanya demikian, tapi pada diriku sendiri. Aku enggan mengorek luka lama yang terjadi belasan tahun yang lalu. Tentu aku bahagia dan dengan senang hati mendapat kesempatan serta hadiah sederhana dari kakekku sendiri. Walaupun kadang terbesit rasa ingin tahu dan iri pada mereka yang mendapatkan nama dari Ayahnya. Karena ternyata aku tidak seberuntung itu.
Hidup dengan asumsi-asumsi memang tidak semudah yang dibayangkan, ingin melangkah maju takut asumsi itu salah, ingin mundur takut kalau ternyata yang diasumsikan itu benar. Di situlah aku berada, di antara asumsi-asumsi apakah aku masih dicari hingga hari ini? Atau mungkin selama ini ada yang sedang ditutup-tutupi. Sejak bayi aku hanya tinggal dengan Mama dan keluarga kakek nenekku.
“Kamu kan nggak pernah tahu gimana Mama dulu cuma bisa nangisin kamu tiap malem dan Pakdhe-mu yang uring-uringan nyari kamu.” Begitu kata Mama tiap kali aku bertanya bagaimana aku dulu atau di mana foto-foto bayiku, kok tidak ada?. Tentu aku tidak pernah menyangka bahwa jawabannya akan semengejutkan itu, aku merutuki diri sendiri. Aku tidak akan pernah bertanya hal yang sama walaupun aku sudah dewasa, air mata Mama terlalu berharga untuk hal yang sama sekali tidak ada harganya. Tetapi, lambat laun aku mulai tahu apa yang terjadi pada diriku di masa lalu.
***
Ada banyak cara menunjukkan kebahagiaan kita kepada manusia lain, tapi menjadikannya sedih bukan salah satunya. Aku punya kebahagiaan yang harus dibagi dengan kesedihan, salah satunya melihat temanku bahagia ketika Papanya selalu menanyakan kabarnya di Semarang. Aku juga merasa sedih sedemikian rupa, sebab posisiku tak selalu sebahagia mereka. Mama yang sibuk mencari nafkah, adik yang masih butuh kasih sayang tapi ku tinggal merantau untuk kuliah. Banyak sekali kesal yang harus ku bagi dengan sabar, tapi bukan ini rencananya.
“Iya, Pa. Besok aku pulang kok, Papa udah makan?”
“….”
“Aku udah kok, tadi makan bareng Ayu. Masak rendang kita, dia pengen katanya,”
“…”
“He he, iya Pa. Ya udah ya, Pa. Rinda mau ke Kampus dulu, Assalammu’alaikum Papa.”
Rinda selalu sumringah setiap kali menerima telepon dari papanya, aku juga tidak bisa menyembunyikan rasa senangku ketika dia selalu bilang Papanya akan menelpon. Terkadang kita memang dititik beratkan pada perlakuan bahagia meskipun bukan kita pemenangnya.
“Ayu aku minta maaf ya selalu ganggu kamu dengan nelpon Papaku, habisnya Papa selalu khawatir dengan putri bungsunya,”
“Engga apa-apa lah, wajarkan orang tua nelpon anaknya?”
“Tapi kamu engga pernah telpon orang tuamu, kamu engga kangen?”
Aku tersenyum pahit, singkat teringat dengan Papa tiriku yang sudah lebih dulu dijemput Tuhan juga teringat Mama yang kurang sempat menelponku. Mungkin jika hanya perdebatan kecil antar suara.
“Nggak harus bilang ke kamu kan. Rin? he he,”
Rinda tersenyum pahit, wajahnya pucat pasi. Aku tahu Ia tidak enak denganku, tetapi bukan begitu maksudku padanya. Aku hanya kurang setuju jika kabar harus ku tanyakan di depan manusia lain. Tetapi tiap manusia punya rumus berkabar sendiri-sendiri, mungkin ini milikku dan begitu milik Rinda.
“Engga apa-apa, Rin. Kamu nggak salah ngomong kok, aku aja yang trouble,” kataku sambil menepuk bahu Rinda.
“Aku lupa kalau Papamu sudah meninggal, maaf ya?”
“Papanya adik-ku, Papaku masih di sini, aku panggil dia bapak,”
Jelas sekali raut kaget Rinda, aku tidak bisa membantahnya.
“Aku ngga ngerti, jadi selama ini aku salah atau kamu yang engga cerita?”
“Kadang-kadang cerita harus ada jalannya ‘kan?”
“Aku enggak tahu apa yang terjadi pada kamu di masa lalu, yang tabah ya, Yu. Kamu punya Mama setegar itu, kamu juga punya aku untuk berbagi cerita. Aku jadi malu selalu marah sama Mama Papa kalau tidak ditelpon, padahal ada yang lebih butuh itu dibanding aku,”
“Bukan waktunya banding-bandingin takdir, itu porsimu, punya kamu. Dijaga selagi punya, aku berangkat dulu ya,”
Porsi dan posisi manusia memang sudah digariskan oleh Tuhan, meskipun rasa iri pasti ada dalam setiap diri manusia. Yang namanya manusia selalu ingin yang terbaik untuk dirinya sendiri. Tetapi, bukan berarti mencari-cari bahagia dengan memangkas bahagia manusia lain. Manusia harus hidup normal walaupun sulit.
Hari ini aku memutuskan berbohong pada Rinda, aku tidak mau terlalu banyak membuka cerita di mana setiap keluarga pasti punya cerita yang tidak seharusnya dibagi kepada manusia lain. Tapi, Rinda juga keluarga bagiku. Dia juga yang berusaha membahagiakanku seperti seorang saudara. Tapi aku saja yang jahat, memutuskan berbohong ke kampus untuk menghindari tanya dan belas kasihan. Aku tahu bagaimana Rinda, aku tidak mau menjadi beban pikirannya. Dia terlahir sebagai perempuan yang harus punya perhatian lebih karena fisiknya yang lemah, jadi bukan peranku untuk membebani masalahku sebagai tanggung jawabnya.
Lari dari Rinda aku bertemu dengan Mas Fardan, dia adalah satu-satunya laki-laki yang ku percaya saat ini. Laki-laki yang berhasil membuatku tertawa di tengah-tengah perkara bumi yang lebih aneh ketimbang lawakannya. Kuakui Mas Fardan memang baik walaupun pelupa. Tetapi dia tidak pernah lupa di mana aku tinggal. Aku dengannya bertemu di sebuah acara luar kampus.
***
Pertemuan Ayu dengan Mas Fardan.
“Kamu aslinya mana sih?”
“Asli bumi yang mimpi mau ke bulan,”
“Aku maksudmu?”
“Namamu bulan, begitu?”
“Iya?”
Laki-laki berkumis tipis itu memandangi perempuan di depannya ini dengan raut yang mampu membuat lawan bicaranya tertawa terpingkal-pingkal.
“Jadi kamu asalnya mana?”
“Yang buat Jawa Timur dan Jawa Barat gandengan,”
***
Dari hanya pertemuan singkat aku dengan Mas Fardan bisa sedekat bulan dan bintang. Tetapi entah hubungan kita apa? aku selalu berusaha memaknainya, enggan terjebak kalimat-kalimat puitis yang akhirnya hanya sebatas teman. Hanya saja, aku nyaman dengannya.
“Kenapa lagi kamu kok lari ke sini?”
“Engga apa-apa, cuman mau menghindari pertanyaan-pertanyaan dari Rinda saja. Nggak lebih,”
“Kalau kataku, bicaralah. Kamu kuat dengan bicara bukan dengan memendam,”
“Tapi nggak semua yang kita bicarakan itu akan ada maknanya buat orang lain,”
“Katamu Rinda bukan orang lain, kenapa cemas?”
“Aku takut masalahku jadi tanggung jawabnya buat jaga perasaanku,”
“Kalau kamu takut terus, Rinda juga nggak akan tahu. Aku emang bisa dengerin semuanya, tapi Rinda juga,”
“Nanti aku bicara dengannya,”
Mas Fardan selalu punya cara untuk membuatku tenang, entah apa yang Tuhan bawakan atas dirinya. Mungkin ini adalah alternatif lain ketika Tuhan ambil Papa dari hidupku.
“Kamu mau makan apa, Yu?”
“Aku belum mau makan,”
“Masih selalu rindu dengan Papamu?”
“Engga, aku hanya ingat dengan Bapak,”
“Kamu mau mencarinya bersamaku? Karena aku yakin dia pasti sangat merindukanmu,”
Aku selalu terdiam setiap kali Mas Fardan mengatakan kalimat itu. Rasanya ada yang tertahan di tenggorokanku. Takut akan ada yang kecewa ketika aku memulai untuk mencari. Tapi Mas Fardan selalu bilang bahagiamu adalah caramu.
“Nggak mungkin lah, Mas. Dia aja nggak pernah nyari aku, mungkin aku sudah tidak dianggap olehnya,”
“Kamu jangan begitu, Yu. Kamu nggak akan tahu selama kamu nggak mencari tahu,”
“Apa yang harus ku cari tahu? keadaanku yang sekarang sudah cukup membuktikan, aku nggak mau buka luka lama, aku kadang nggak tega liat mamaku sedih, banting tulang sendiri.”
“Sabar ya, Yu. Kamu di sini punya mas, mas bakal terus bantu kamu. Kamu nggak boleh sedih sendirian,”
“Apaan sih, Mas. Kok jadi sedih-sedihan gini,”
“Ngga apa-apa, Mas kaya berguna aja pas udah kenal kamu dan deket gini,”
“Aku juga ngerasa beruntung kenal sama laki-laki yang bisa ngubah perspektifkumengenai masa laluku.”
Hari itu Mas Fardan dan aku mulai dekat tanpa sekat, lambat laun aku mulai memaafkan kesalahan masa laluku. Tidak lagi khawatir akan kepergian Bapak atau sedih karena trauma akan laki-laki. Hadirnya Mas Fardan membuatku mengerti tentang semesta dan seisinya. Mulai sejak itu juga Mas Fardan memantapkan hatinya untuk memilihku di antara banyaknya perempuan yang mengantri untuk mendapatkan hatinya. Aku sangat berterimakasih pada Tuhan atas kehadiran Mas Fardan di kehidupanku ini.
***
Sudah tiga tahun setengah aku mengenyam pendidikan di kampus ini, banyak suka dan duka yang telah aku lewati. Bertemu teman-teman baik dan punya pengalaman yang baik pula. Lalu bertemu manusia seperti Mas Fardan di tengah-tengah kesibukanku mengikuti sebuah acara di luar kampus. Kini aku memakai toga dan resmi memiliki gelar sarjana sesuai cita-cita Mama dan kehendak Tuhan. Tidak dapat ku pungkiri betapa sangat bahagianya Mama hari ini. Ia sudah berhasil menyekolahkan anaknya sampai tamat sarjana seorang diri. Betapa bangganya aku menjadi seorang perempuan yang lahir dari rahim seorang ibu sekuat Mama.
Di tengah-tengah hari bahagiaku ini, Mas Fardan datang membawa sebucket bunga mawar kesukaanku dengan memakai jas hitam dan jam tangan yang setia melingkar di tangannya. Ku lihat dia berbisik-bisik dengan Mama lalu tersenyum manis ke arahku.
“Ayu..”
“Iya mas,”
“Ayu Wulan Ningsih, Will you marry me?”
Aku berkaca-kaca melihat Mas Fardan mengeluarkan sebuah kotak cincin dan mengucapkan kalimat yang sudah kutunggu-tunggu sebelumnya. Tiga tahun mengenal Mas Fardan, dia yang selalu ada ketika semua masalah menghampiriku, dia yang menguatkanku atas masa lalu yang berulangkali mencekikku. Kini Mas Fardan dengan gagahnya berlutut di hadapanku dan Mama. Ia melamarku di hadapan keluargaku, di saat-saat yang paling penting dalam hidupku.
“Yes..”
Satu tetes air mata pun luruh begitu saja, Mas Fardan memakaikan cincin di jariku lalu aku memeluknya tanpa ingin kehilangan momen manis sedikitpun.
Mama menepuk bahu Mas Fardan, dapat kulihat raut bahagia sekaligus sedihnya ketika anak sulungnya sudah dilamar oleh orang seperti Mas Fardan.
“Jaga Ayu ya, Dan. Dia lemah, beda seperti saya, jangan sampai kamu sakiti hatinya, masa lalunya sudah sangat buruk untuk menghidupinya sampai sekarang. Saya berterima kasih kamu sudah mau mendampingi Ayu hingga saat ini, Saya juga bersyukur kamu sudah mengobati trauma Ayu,” kata Mama kepada Mas Fardan dengan diikuti air mata yang tak henti-hentinya mengucuri pipi.
“Baik, Bu. Fardan akan menjaga Ayu sebisa mungkin, Fardan menunggu sampai saat ini karena Fardan yakin bahwa Ayu-lah jodoh Fardan,”
Acara wisudaku berlangsung secara dramatis, mengesankan lalu memilukan. Ada harap, dulu ketika aku berencana tapi malah jadi wacana. Aku bahkan hingga sekarang masih memperhatikan wisudawan yang lain, mereka sangat bahagia bersama keluarga lengkapnya. Sedangkan aku masih tidak tahu seperti apa wajah bapak. Tetapi, Tuhan menggantikan itu semua dengan kehadiran Mama dan Mas Fardan. Ini kejutan manis dari Tuhan, aku bahagia.
***
Aku pikir hari itu adalah hari bahagiaku, lembaran-lembaran bahagia mungkin akan terbuka sepenuhnya. Namun ternyata salah, bahagia masih bukan porsiku. Ketika harus berpisah dengan Bapak dan tidak bertemu sampai sekarang pun masih ada lagi sedih yang harus ku ambil. Aku tidak bisa menikah dengan Mas Fardan hanya karena asal usulku yang tidak jelas menurut keluarganya.
“Apa-apaan kamu, Dan? setelah tiga tahun kamu mengenalkannya pada Ibu, lalu Ibu sangat menyayanginya kamu bilang bapak Ayu entah ada di mana dan siapa. Ibu ga habis pikir denganmu.”
“Bukan begitu, Bu. Asal usul Ayu jelas, Bapaknya yang pergi dan meninggalkan tanggung jawab atas kehidupan Ayu. Lalu bukan salah Ayu untuk hidup tanpa seorang Ayah,”
“Cukup, Dan! Apa kata orang-orang nanti kalau kamu menikahi perempuan yang entah bapaknya di mana.”
Tidak dapat kupungkiri, semua perkataan Ibu Mas Fardan benar, asal usulku tidak jelas pasti akan menjadi konsumsi masyarakat. Aku sudah lelah mencari Bapak hanya demi pernikahanku dengan Mas Fardan tetapi nihil, Bapak tidak berhasil kutemukan. Lalu Ibu Mas Fardan tidak setuju jika anaknya harus menikahi perempuan tanpa Bapak sepertiku. Aku pergi dari kehidupan laki-laki yang teramat kucintai, meninggalkan semua yang telah kubangun bersamanya hanya karena masa laluku yang sudah kumaafkan. Kini Aku dengan Mas Fardan adalah bayangan yang tak bisa jadi nyata kalau disiasati untuk bersama.
END