Penampakan di Ujung Malam
(oleh: Muhamad Abdul Malik)
Pada suatu malam, Cleo beserta teman-temannya menikmati malam. Mereka mengobrol, memperbincangkan sesuatu. Suara klakson kendaraan dan deru sedan terdengar jelas dari sini, Kedai Kopi.
“Begitu menarik kawan” kata Cleo.
“Kita harus menontonnya” Feri menimpali. Di sampingnya ada secangkir kopi panas yang belum Ia seduh.
“Nanti setelah ini, Kawan!” jawab Cleo.
Tanpa memperdulikan sorot lampu yang sesekali menyinari wajah mereka, Joni menganggukkan kepalanya.
Di Kedai Kopi yang sederhana itu, mereka nampak akrab sekali. Mereka saling berteman sejak kecil. Walaupun mereka mempunyai teman baru dari sekolahnya, mereka tetap kompak dan bersama.
Balap liar yang sering diadakan oleh remaja di Jalan Raya, walaupun ilegal dan penuh resiko, nampaknya Dion tidak sabar untuk menontonya.
“Kita harus pergi sekarang kawan!”
“Tunggu kawan, kita nikmati dulu” kata Joni sembari menyeruput kopi panasnya itu.
“Kau tahu Jon? Balap liar waktunya tidak tentu. Bisa saja jam sebelas malam misalnya, bisa molor jam dua belas malam. Kau mesti tahu, tergantung situasi dan kondisi lah” kata Dion menerangkan.
Temaram lampu kota yang kekuningan. Hembusan angin yang menyeret dedaunan kering. Hujan tadi sore menyisakan jalanan yang basah dan angin yang membawa dingin. Mereka memacu kendaraannya dengan kecepatan sedang. Banyak pohon peneduh jalan yang telah mereka lewati. Sebelum mereka menuju ke Jalan Raya, Cleo mengajak teman-temannya menuju rumah neneknya untuk buang air kecil.
“Apa kau yakin tidak mengganggu tidur nenekmu, Cleo?” tanya Dion yang heran di jam sepuluh malam berkunjung kerumah neneknya.
“Pasti tidak”
Ia melewati jalanan yang sepi. Dipinggir jalan itu terdapat pohon beringin kembar yang besar. Jalanan itu terkesan mistis dan angker. Sesampainya di gang jalan menuju rumah neneknya. Mereka melihat dan mendengar gonggongan anjing yang keras. Anjing itu melihat kearah atas. Dengan penasaran ke empat remaja itu melihat ke arah yang dilihat anjing itu.
Mereka terpana, nafasnya berat, bulu kuduknya berdiri, dan badannya bergetar. Betapa takutnya mereka melihat sesosok Pocong yang terbang. Ya! Pocong. Bukan pocong yang seperti dilihatnya difilm horor. Kali ini, pocongnya bisa terbang. Pocong itu terbang dari pohon beringin kembar yang besar dipinggir jalan. Pocong itu terbang dengan kecepatan yang sedang. Sehingga mereka dapat melihat nampak jelas. Wajah pocong itu hitam. Hitam sekali. Wajahnya penuh luka. Matanya tak punya bulatan warna hitam. Putih semua. Pocong terbang itu melihat ke arah mereka. Postur tubuh pocong itu tinggi. Warna kain kafannya coklat seperti tanah. Tak sampai disitu. Ketika mereka melihat kebawah pohon beringin yang penuh juntaian akar itu. Mereka melihat sesosok anak kecil berkepala gundul. Sesosok anak kecil itu hanya memakai celana dalam kain bewarna putih.
“Itu Tuyul….” teriak Dion.
Tuyul itu tertawa riang dan berlarian disekitar pohon. Tak jarang tuyul itu memainkan akar dan gelendotan dijuntaian akar. Sesekali mereka juga mendengar suara jeritan seorang perempuan yang keras dan melengking. Mereka tak tahu siapa yang menjerit itu.
Ini merupakan pengalaman yang baru pertama kali meraka alami.
“Pengalaman buruk sekaligus menakutkan. Aku tidak akan melupakan itu” ujar Joni
Dengan tergesa-gesa dan penuh ketakutan. Mereka balik pulang tak jadi kerumah nenek Cleo dan tak jadi pula menonton balapan liar.
Diujung malam, mereka membelah jalanan.