Mengapa Biru untuk Laki-Laki dan Merah Muda untuk Perempuan?

Mengapa Biru untuk Laki-Laki dan Merah Muda untuk Perempuan?

Pada awal abad ke-20, tidak ada konsensus yang jelas mengenai warna yang sesuai untuk bayi laki-laki atau perempuan. Sebuah artikel tahun 1918 di Earnshaw’s Infants’ Department menyatakan bahwa “aturan yang diterima secara umum adalah merah muda untuk anak laki-laki dan biru untuk anak perempuan,” dengan alasan bahwa merah muda dianggap sebagai warna yang lebih kuat, sementara biru lebih halus dan cocok untuk perempuan.

Namun, pada tahun 1940-an dan 1950-an, asosiasi ini mulai berubah, dengan merah muda menjadi identik dengan perempuan dan biru dengan laki-laki. Perubahan ini diperkuat oleh strategi pemasaran yang menargetkan orang tua baru, terutama setelah munculnya teknologi ultrasonografi yang memungkinkan penentuan jenis kelamin janin sebelum lahir.

Namun, dalam beberapa dekade terakhir, terdapat upaya untuk menentang dan mengubah stereotipe warna terkait gender. Gerakan feminis dan kesadaran akan isu gender telah mendorong produsen mainan dan pakaian anak untuk menawarkan pilihan yang lebih netral dan inklusif. Beberapa toko bahkan menghapus label gender pada lorong mainan mereka untuk mendorong anak-anak memilih berdasarkan minat, bukan warna atau stereotipe.

Selain itu, warna merah muda telah diadopsi dalam berbagai konteks untuk memberdayakan perempuan dan menantang norma gender. Misalnya, kampanye kesadaran kanker payudara menggunakan pita merah muda sebagai simbol solidaritas dan kekuatan. Film “Barbie” yang dirilis baru-baru ini juga merepresentasikan merah muda sebagai simbol pemberdayaan perempuan, menunjukkan bahwa warna ini dapat melampaui stereotipe tradisional.

Asosiasi warna dengan gender adalah hasil konstruksi sosial yang telah berubah seiring waktu dan dipengaruhi oleh berbagai faktor budaya dan komersial. Dengan meningkatnya kesadaran akan isu gender dan upaya untuk menciptakan masyarakat yang lebih inklusif, penting bagi kita untuk mempertanyakan dan menantang stereotipe warna yang membatasi. Mendorong anak-anak untuk mengeksplorasi warna dan minat mereka tanpa dibatasi oleh norma gender dapat membantu mereka tumbuh menjadi individu yang lebih bebas dan autentik.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Jo Paoletti (Sejarawan, University of Maryland) “Warna hanyalah warna. Tidak ada alasan biologis mengapa biru harus untuk laki-laki dan pink untuk perempuan. Ini murni konstruksi budaya yang bisa berubah.”

Penulis: Dinar Emilia

Sumber: teenvogue.com dan time.com

Dokumentasi: 

Editor : Maulidya Aisyah Hamidah

Related Post

Tinggalkan Balasan

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d blogger menyukai ini: