Pertumbuhan pengguna internet di Indonesia kian pesat. Pada tahun 2022, pengguna internet tercatat mencapai 210 juta pengguna. Perkembangan internet saat ini, disadari atau tidak menimbulkan fenomena krisis privasi. Apalagi jika dilihat bahwa masyarakat Indonesia menaruh minat yang tinggi pada jejaring sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter dan lainnya.
Hilangnya privasi, dimulai dari kesengajaan diri sendiri karena langkah awal menggunakan teknologi adalah memberikan identitas dan ruang pribadi ke penyedia.
Seperti saat akan menggunakan jejaring sosial diperlukan mendaftar terebih dahulu. Ketika mendaftar, kita memberikan identitas dan menyetujui bahwa pihak ketiga dapat menggunakan data kita dan merekam aktivitas kita.
Permasalahan dapat terjadi, jika data pengguna ini bocor atau disalah gunakan secara tidak bertanggung jawab oleh pihak ketiga tersebut. Apakah kita dapat menyadarinya? Tentu saja tidak. Sebab, kita telah melaluinya secara suka rela tanpa sadar akan dampak kedepannya.
Apakah kalian pernah berfikir mengapa kita perlu log in pada sebuah aplikasi? Mengapa ada iklan yang tiba-tiba muncul sesuai pencarian terakhir? Sebab dari data-data tersebut, pengembang dapat mengetahui arah jalannya aplikasi yang dapat menampilkan iklan yang dipersonalisasi. Hal itu, sesuai dengan pengembangan aplikasi secara sistematis.
Selama kita tetap menggunakan device dan aplikasi yang dibuat orang lain. Saat itulah, kita sudah tidak mempunyai privasi. Lantaran memang tidak ada yang gratis dalam masyarakat digital. Kita menukarkan privasi untuk mendapat kemudahan. Selain itu, faktor lain hilangnya privasi di era teknologi ini, juga turut andilnya perilaku masyarakat yang kurang teredukasi.
Pernahkan kamu melihat video yang direkam tanpa izin? Atau kamu sendiri yang mengalaminya? Sayangnya hal ini cukup banyak ditemukan di media sosial. Salah satu contohnya adalah video dimana dua orang yang memakai baju yang sama dalam satu tempat, direkam tanpa izin dan dijadikan bahan lelucon.
Hal tersebut merupakan pelanggaran privasi yang banyak dijumpai di Indonesia yang jarang kita jumpai di negara lain, contohnya Jepang dan Korea Selatan. Banyaknya fenomena tersebut diakibatkan karena masyarakat Indonesia kurang teredukasi akan pentingnya privasi dan data diri, serta tidak mengetahui bentuk batasan dari pelanggaran privasi.
Hal lain yang cukup mengganggu sejak beberapa tahun lalu adalah unggahan foto para mahasiswi dalam akun “Kampus Cantik” yang menuai banyak kontroversi. Fenomena ini dikritik dari masalah komodifikasi dan komersialisasi hingga bentuk dari pelanggaran privasi.
Dikatakan demikian, karena akun-akun kampus cantik tersebut tidak meminta persetujuan pemilik yang bersangkutan. Hal ini sangat disayangkan terjadi di lingkup civitas akademik yang seharusnya menjadi ruang kritis.
Pola masyarakat digital saat ini, sangat mudah untuk mempertontonkan dan mengumbar hal-hal yang bersifat pribadi. Para ahli menyebutnya sebagai perilaku oversharing. Perilaku oversharing ini dapat berakibat buruk.
Menurut laporan Kepolisian Republik Indonesia di tahun 2021, ada sekitar 29,8 persen kasus penipuan online yang dilaporkan akibat pelaku mengetahui seluk-beluk data diri korban karena perilaku oversharing dan data diri yang tercantum secara rinci di laman sosial media pribadi.
Lantas, haruskah kita menolak kecanggihan teknologi? Tentu saja tidak. Teknologi hadir untuk memberikan kemudahan manusia dalam menjalani kehidupan. Oleh karena itu, perlu didukung edukasi insentif dan perilaku mawas diri terkait bahaya yang dapat ditimbulkan jika tersebarnya data pribadi dalam bentuk sengaja maupun ketidaksengajaan.
Kita perlu sadar betapa mahalnya privasi saat ini. Mau tak mau, kita harus menjalani betapa mudah bocornya privasi dan data diri. Hal tersebut merupakan risiko dari pencapaian masyarakat digital yang tak dapat dihindari.
Penulis: Maharani Sabila
Editor: Mayang Luh Jinggan
Sumber: dari berbagai sumber
Sumber gambar: Pinterest