Semarang– Pengesahan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual sudah menemui titik terang. Kini UU TPKS sudah resmi disahkan dengan nomor resminya yaitu UU Nomor 12 Tahun 2022 oleh Presiden Jokowi pada 9 Mei 2022.
Pada pengesahan di tanggal yang sama, UU TPKS ditandatangani pula oleh Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Hamonangan Laoly. Sebelum itu, DPR sudah lebih dulu mengesahkan UU TPKS pada 12 April 2022 saat pembicaraan tingkat II di rapat paripurna ke-19 masa persidangan IV tahun sidang 2021-2022.
Dikutip dari detik.com, pihak dari Komnas Perempuan juga turut gembira mendengar kabar tersebut dan untuk pelaksanaan kedepannya masih harus terus dikawal.
“Komnas Perempuan menyambut dengan sukacita pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada rapat paripurna DPR 12 April 2022. Pengesahan ini merupakan buah kerja keras dari berbagai pihak,” kata Komnas Perempuan dalam keterangan tertulis, Selasa (12/4).
Direktur Jalastoria yang juga merupakan mantan anggota Ombudsman RI, Ninik Rahayu, menyampaikan UU TPKS yang telah sah diundangkan ini harus menjadi pegangan semua masyarakat, terutama aparat penegak hukum serta aparatur pelaksana peraturan hukum.
Besar harapan masyarakat pada UU TPKS mengingat kasus tindak kekerasan seksual bukan masalah yang sepele dan perlu solusi komprehensif terhadap korban. Selain itu, UU TPKS dapat menjadi payung hukum yang sangat berguna bagi korban serta sebagai bentuk upaya perlindungan serta mencegah segala bentuk kekerasan seksual.
Data terakhir yang dihimpun Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), sepanjang Januari 2022 sudah ada 797 kasus kekerasan seksual pada anak dan angka itu sampai hari ini terus bertambah. Dari data tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya kasus kekerasan seksual lebih kompleks dari apa yang terlihat di permukaan.
Dikutip dari mediaindonesia.com, Ninik Rahayu berujar bahaa tidak ada alasan untuk tidak tahu dan tidak mau menggunakan UU TPKS terutama bagi aparat penegak hukum dalam menangani kasus kekerasan seksual.
“Tidak ada alasan lagi bagi masyarakat untuk bilang, aku nggak tahu tuh ada UU TPKS, aku nggak mau pakai UU ini. Atau ada aparat penegak hukum bilang belum ada sosialisasi. Kami nggak tahu. Jadi kami pakai KUHP, tentang pelecehan seksual. Itu tidak bisa lagi. karena apa? UU itu berlaku prinsip fiksi hukum,” ujar Ninik.
Penulis: Diaz Mulya
Editor: Riska Marcela
Sumber foto: mediaindonesia.com