Mengenal Sapardi Djoko Damono
Sapardi Djoko Damono, lahir di Surakarta 20 Maret 1940. Beliau merupakan anak pertama dari pasangan Sadyoko dan Saparian. Bersama orang tuanya, Sapardi tinggal di Desa Ngadijayan, Jawa tengah. Penyair yang terkenal dengan puisinya yang sederhana ini kerap dipanggil dengan inisialnya, yaitu SDD.
Sapardi mengenyam pendidikan di sekolah rakyat, kemudian melanjutkan sekolah menengahnya di SMP II Solo di wilayah Mangkunegaran. Lalu pada tahun 1955, ia bersekolah di SMA Negeri 2 Surakarta. Disaat SMA inilah ia sudah menulis sajak yang dimuat di beberapa surat kabar. Kemampuan dalam menulis semakin berkembang ketika ia melanjutkan studi ke Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Karir seorang Sapardi
Sapardi Djoko Damono banyak berkecimpung dalam bidang pendidikan, sebagai dosen di beberapa perguruan tinggi. Terakhir ia pernah menjabat sebagai Guru besar di Fakultas Sastra, Universitas Indonesia. Sapardi juga menginisiasi berdirinya organisasi profesi kesastraan di Indonesia Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (HISKI) pada 1988.
Selain mengajar, ia juga aktif sebagai Direktur pelaksana di Yayasan Indonesia Jakarta (1973-1980), Sekretaris Yayasan Lontar Jakarta (sejak 1987), Ketua Pelaksana Pekan Apresiasi Sastra di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1988) dan lain sebagainya.
Sapardi juga kerap mengikuti kegiatan-kegiatan sastra tingkat internasional seperti: Penulis dalam Festival Seni di Adelaide (1978), mengikuti Biennale Internationalde Poesie di Knokke-Heist, Belgia (1978), menjabat Country Editor majalah TenggaraJournal of Southeast Asian Literature, Kuala Lumpur (1978) dan masih banyak lagi.
Karya-karya Sapardi
Buku pertama Sapardi adalah Dukamu Abadi (1969), yang langsung mendapatkan tanggapan positif di awal kemunculannya. Sapardi disebut melanjutkan tradisi puisi liris yang dirintis Chairil Anwar dan Amir Hamzah dalam kesusastraan modern. Puisi karya Sapardi Djoko Damono banyak mengambil simbol alam, menggambarkan alam sebagai sesuatu yang hidup dan memiliki perasaan. Berikut ini adalah salah satu puisi Sapardi yang terkenal.
Ada cerita menarik mengenai puisi tersebut saat wawancara Sapardi dengan Najwa Shihab, bahwa makna dari puisi tersebut tidaklah se-simple “mencintaimu dengan sederhana”, sebenarnya puisi ini memiliki makna “kasih yang tak sampai”. “Sebelum sempat menyampaikan cintanya, sudah jadi abu. Jadi nggak sampai” begitu tutur Sapardi.
Karya lain Sapardi, seperti: Mata Pisau (1974), Yang Fana adalah Waktu (1978), Perahu Kertas (1983), Hujan Bulan Juni (1994), Arloji (1998), Ayat-Ayat Api (2000), dan sebagainya. Untuk karyanya “Hujan Bulan Juni” juga telah di novel-kan dan diangkat menjadi film layar lebar.
Sapardi juga menerjemahkan karya, seperti: Lelaki Tua dan Laut (Hemingway), Daisy Manis (Henry James), dan Sayap-sayap Patah (Kahlil Gibran). Tidak hanya menerjemahkan, karyanya juga berhasil diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa, seperti Inggris, Belanda, Cina, Jepang, Perancis, Hindi, Jerman, dan Arab serta dimasukkan ke dalam antologi puisi dunia.
Berkat sumbangsihnya di dunia kesusasteraan, Sapardi banyak menerima penghargaan, seperti: Cultural Award dari Australia (1978), Anugerah Puisi Putra dari Malaysia (1983), Anugerah Seni dari Indonesia (1990), Kalyana Kretya dari Menristek RI (1996) dan berbagai penghargaan lainnya.
Pada hari Minggu, 19 Juli 2020, sang pujangga tersebut menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Eka Hospital BSD Tangerang Selatan. Meskipun kini penyair itu telah pergi, namun karya-karya nya akan terus dan tetap abadi. Seperti penggalan lirik lagu milik musisi Jason Ranti,
“Oh Pak Sapardi…
doa kami kirim dari sini…”
Penulis: Maharani Sabila
Editor: Riska Marcela
Sumber: Dari berbagai sumber berita