Semarang – Pemutaran Perdana Film Babad Wingking Griya yang diselenggarakan di Gedung Arsip Banyumanik, Semarang pada Rabu, (30/03) telah mengundang antusias para tokoh seniman dan perfilman Jawa Tengah khususnya Kota Semarang. Film tersebut diproduksi oleh Lanyah Film yang berisi para mahasiswa penggiat film Universitas Dian Nuswantoro Semarang.
Film yang disutradarai oleh Mauliya Maila, atau akrab disapa Mela ini bercerita mengenai konflik perebutan lahan yang berlatar tahun 2016 dengan alur cerita yang dibalut komedi. Yulfatul Mafiroh, sebagai seorang script writer, menjelaskan bahwa cerita film Babad Wingking Griya merupakan kisah nyata yang dialaminya. Diperankan oleh Jueli dan Ithuk Arthayani, sebagai Minah dan Barokah, yang merupakan senior dari dunia perfilman di Semarang berhasil mengundang gelak tawa seluruh penonton film yang hadir.
Awal mula dipilihnya judul Babad Wingking Griya berasal dari kata “Babad” yang artinya cerita lama dan “Wingking Griya” yang berarti halaman belakang rumah.
“Judul itu yang bikin kan penulisnya, Kak Yulfa. Emang dari kisah nyata dia dengan tetangga belakang rumahnya,” ujar Mela.
Mela menambahkan bahwa dia lebih memilih untuk menggunakan Bahasa Jawa di sepanjang jalan cerita karena latar tempat film yang berada di daerah Semarang atas tepatnya sekitar Gunung Pati dan Mijen, di mana penggunaan Bahasa Jawa di sana masih sangat kental.
Produser Babad Wingking Griya, Livoni Mahsa, menjelaskan terkait lamanya proses penggarapan film tersebut menjadi sebuah pengalaman yang seru dan menantang lantaran dibarengi dengan perkuliahan. Mereka berusaha mengatur waktu sedemikian rupa agar kedua hal tersebut dapat berjalan beriringan.
“Prosesnya cukup lama karena dilakukan bersamaan dengan kegiatan perkuliahan dan praktikum. Bisa dibilang dari penulisan naskah selama 1 bulan, pra-produksi atau persiapan hanya 2 minggu, lalu shooting dan editing. Bisa dibilang selesai dalam 2 bulan,” jelas Livoni.
Babad Wingking Griya mengandung pesan tersirat yang ingin disampaikan penulis kepada para penonton mengenai pentingnya memiliki sebuah sertifikat tanah. Karena mengingat kembali pada tahun 2016, tak sedikit orang di daerah yang cukup terpelosok lebih memilih untuk tidak mengurus sertifikat tanahnya lantaran berfikir hal tersebut merepotkan dan akan dipersulit selama proses pengerjaannya. Namun risiko yang ditimbulkan dari hal tersebut dapat memicu perselisihan bahkan pertengkaran dengan tetangga sebelah rumah seperti yang dikisahkan dalam film ini.
Agus Budi Santoso, selaku salah satu penonton menambahkan pesan dan kesannya saat menonton film tersebut. Dia sangat tertarik dengan salah satu adegan di film tersebut dan bahkan hingga memuji seni bermain peran para pemeran tokoh.
“Saya sangat tertarik dan terhibur dimana setelah perkelahian antara 2 tetangga tadi yaitu Minah dan Barokah memakai koyo di kaki sebelah kiri saja. Secara umum film ini sudah bagus dan pemeran aktingnya juara,” ujar Agus Budi Santoso.
Penulis: Rosmanita Kusuma Ningrum dan Diaz Mulya Putri
Editor: Riska Marcela
Sumber Gambar: Instagram @bwgfilm