Berapa dari kita mungkin masih belum mengenal kata “Tabik” , dan sebagian
lainnya yang masih mengenal kata “Tabik” mungkin kebanyakan mengenal nya
adalah orang yang bergelut dibidang sastra dan bahasa. Bahkan secara pribadi pada bahasa
tulisanpun, penulis pun jarang menemukan penggunaan kata ini.
Menurut penjelasan yang di kutip dari Wiktionari.org, Kata tabik
artinya “salam” atau “selamat tinggal”. Kata ini berasal
dari bahasa Sansekerta: kşantavya atau ksantawya.
Dalam bahasa Sansekerta artinya ialah “maaf”. Berhubung orang Melayu tidak
bisa melafazkan bunyi /v/, maka bunyi ini menjadi /b/. Sehingga kata ini
berubah menjadi ksantabya dan
akhirnya menjadi santabe dan bahkan tabe atau tabik. Dalam makna tertentu, tabik juga berarti salam hormat (Jan
Gonda, 1973, Sanskrit
in Indonesia, halaman 640 dan selanjutnya).
Tidak jauh berbeda dengan kutipan diatas, kata tabik menurut kbbi.kemdikbud.go.id juga berfungsi sebagai ungkapan untuk memberi salam, seperti selamat (pagi, siang, malam), halo, assalamualaikum, sepada, perbuatan menghormati, maupun maaf (dikatakan apabila masuk ke tempat yang keramat dan sebagainya), yang berasal dari bentuk tidak baku tabe ataupun tabi.
Uniknya, versi tabik tiap tempat, kota dan daerah ternyata juga berbeda-beda. Contohnya dalam suatu percakapan di twitter di akun @ivanlanin dan @wulandari yang mengatakan jika di Lampung, bahasa daerah yang digunakan untuk mengucap salam adalah “Tabik”. Biasa digunakan di acara-acara adat, jika ingin melakukan sesuatu dalam prosesi adat akan dimulai dengan sapaan “Tabik, pun” dan dijawab “Ya, pun” dengan bunyi U yang dipanjangkan.
Kata “tabik” dalam masyarakat Lampung terdapat beberapa variasi seperti Nabik Tabik, Natabik, Tabik Sumbah Puluh Jari, Tabik Dipusekhumpok, Tabik Ngalimpuro /Tabik Ngalimpugha, dan yang paling banyak dipakai adalah Tabik Pun, kata – kata tersebut tujuannya adalah sebagai sebuah penghormatan terhadap lawan bicara yang diucapkan di awal pembicaraan.
Tidak hanya orang Lampung yang menggunakan kata tabik ini sebagai pembuka kata, tetapi juga sebagian orang Melayu di Sumatera dan orang Bugis-Makassar. Sedangkan dalam bahasa Bali “tabik” digunakan seperti kata permisi, umumnya ditujukan kepada orang yang lebih tua.
Tidak ada yang salah ataupun benar sepenuhnya, apabila kata ini sudah tidak lazim digunakan dalam bahasa pergaulan sehari-hari, atas apapun faktor apapun penyebabnya. Namun penggunaan dalam bahasa tulisan-apakah itu artikel bebas atau bentuk cerita, bahan ajar yang mana saya fikir tidak selalu spesifik mengacu pada disiplin ilmu tertentu, dan hal lain yang mungkin bisa dikemukakan semestinya tidak mulai ditinggalkan begitu saja. Bagaimanapun kata yang ada dalam kosakata bahasa kita ini pernah digunakan pada masanya. Upaya pengenalannya kembali, mungkin bisa dijadikan sebagai sarana menimbulkan minat generasi masa kini untuk berupaya mencari tahu lebih luas lagi mengenai kosakata bahasa.
Memperkaya kosakata bahasa tidak harus selalu menambah kosakata baru, seperti yang marak terjadi saat ini. Bahkan menambah kosakata, juga makin diramaikan dengan bentuk “akronim” baru, meskipun hal ini juga sudah pernah terjadi sebelum-sebelumnya.
Bukankah mengenal kosakata lama dan mempopulerkannya kembali (baik dalam bahasa tulisan ataupun percakapan) juga bisa digunakan sebagai sarana memperkaya kosakata kita? Tabik!
Penulis: Ade Purwaningsih
Editor: Almira Felicia