Jika mendengar kata ‘Suronan’ pasti tidak sedikit dari kita yang langsung menghubungkan dengan hal-hal yang berbau klenik, mistis, dan sebagainya. Memang benar, sebagian masyarakat kita khususnya di Jawa menganggap bulan suro khususnya malam satu suro menurut penanggalan jawa merupakan malam yang sangat sakral atau pantangan untuk menyelanggarakan beberapa kegiatan.
Suronan secara harfiah berasal dari kata Suro, salah satu nama bulan dalam penaggalan Jawa yang bertepatan dengan bulan Muharram dalam penanggalan Islam/Hijriyah. Penyematan istilah Suro diserap dari bahasa Arab, ‘Assyura’ yang berarti kesepuluh atau tanggal sepuluh Bulan Suro.
Tepat malam satu Suro masyarakat Jawa yang merayakan Suronan biasanya akan mandi, hal ini berarti membersihkan dan mensucikan diri dari kotoran yang mengisyaratkan bahwa malam satu suro orang harus bersih dari segala perbuatan tidak baik sudah dilakukan.
Di masyarakat Islam sendiri khususnya pada lingkungan pesantren, tradisi Suronan diisi dengan membuat bubur nasi warna merah dan putih. Bubur merah dibuat dengan gula jawa/aren sehingga rasanya manis, sedangkan bubur putih memiliki rasa yang gurih. Bubur ini merupakan perlambangan dari sesuatu yang bertentangan seperti baik dan buruk.
Bulan Muharam juga terjadi peristiwa yang sangat berarti bagi seluruh umat Islam karena pada bulan Suro/Hijriyah Nabi Muhammad SAW yang memperoleh Al-Quran sebagai pegangan hidup sepanjang masa bagi umat Islam. Serta terdapat peristiwa yang menyayat hati yaitu terjadinya tragedi pembunuhan Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib di Karbala, Irak.
Memang ada beragam cara masyarakat dalam merayakan atau memaknai Suronan atau tahun baru Islam. Dari yang diisi dengan perayaan-perayaan tertentu hingga pantangan menyelenggarakan kegiatan yang mengundang banyak orang.
Penulis : Anugrah Tri Ramadhan
Editor : Amrina Rosyada