Aku dan Sandhyā, dua orang yang menantikan senja bahkan ketika hujan datang. Bagiku, senjakala adalah waktu untuk kita. Bahkan ketika langit yang membersamai indah, maupun gelap karna mendung. Entah itu jingga maupun kelam, aku dan Sandhyā selalu menunggu dengan setia.
Menyelami sore berdua dan saling memandang satu sama lain. Memandang langit dan awan yang berwarna jingga, serta merasakan hembusan angin yang sama. Iya kita berada pada satu semesta, satu ruang dan waktu. Selalu bersama, namun tak bisa bersama sepanjang masa.
Aku ingat ketika kita sedang bersama kala itu, ketika langit begitu cerah dengan semburat merah dan jingga. Kita saling ingin bersama, bertemu sepanjang hari, berdekatan sepanjang hari. Namun, takdir hanya memberi kita pertemuan yang terbatas.
“Mar, aku suka saat sedang bersama mu” ucap Sandhyā
“Kenapa begitu?” Tanyaku kala itu
“Aku suka, karna aku bisa bercermin pada mata mu yang tenang. Banyak orang yang takut pada sisi misterius mu, tapi aku memilih bersama mu” ucapnya
“Kenapa kau masih disini bersama ku? Jika banyak yang takut padaku?” Tanya ku padanya
“Karena aku rasa, kita memang disatukan oleh semesta” ucapnya.
Kita hening sebentar, lalu ia melanjutkan lagi ucapannya “Walaupun aku tau, kita hanya bersama sebentar, pada tempo dan waktu yang singkat. Tapi aku tak pernah menyesal, hanya bertemu pada satu waktu saja. Setidaknya aku bersyukur, kita masih dalam semesta yang sama” ucapnya.
Aku menolehkan kepala ku, dan memandang wajahnya. Lagi – lagi aku lihat ada gurat gusar diwajahnya, ada keraguan dalam hati yang membakar keyakinan kita akan sebuah takdir. Kita adalah “dua keindahan”, yang ingin selalu bersama tetapi dipasangkan pada waktu dan tempo yang singkat. Takdir bekerja seperti semestinya, seperti senja yang menghampiri laut ketika sore datang.
Kita ada sebagai dua kehidupan yang berbeda, dia adalah mentari bagi fajar dan senja. Sedangkan aku, Marina yang selalu menanti Sandhyā dikala senja.