Hari ini bukan hari baik pula bagiku. Kukira akan ada rencana pengganti makan malam kemarin yang tertunda. Bukan ternyata. Tugas-tugas menjelang UAS memberatkan kami.
Sepulang kuliah, sekitar pukul 16.45, aku tiba di lantai 2 gedung kegiatan mahasiswa. Meletakkan ranselku yang berat, cukup banyak mata kuliah hari ini yang mengharuskanku membawa modul pula. Laptop yang kutenteng, kupersilakan ia untuk tidur di lantai. Aku menikmati senja di camp seorang diri, disoroti matahari yang hampir tenggelam, kemudian memutar lagu-lagu indie yang shaydu. Lengkap sudah. Hari ini lelah. Aku merenung sambil memejamkan mata, berharap untuk sejenak tidur.
Seorang laki-laki berbadan kurus, tidak terlalu tinggi, namun lebih tinggi dariku, dengan rambut klimis, tiba-tiba membuat mataku terbuka lagi. Mengetok pintu dengan kasar, seolah ingin bercanda, tapi sayang bukan waktunya. Aku sedang lelah.
“Sudah selesai kelas?”, tanyanya sambil makan batagor.
“Mmm, barusan, tiga kali UAS praktek tadi. Kamu?”, aku rasanya masih setengah sadar.
“Udah selesai. Kamu gimana? Bisa UASnya?” Mau gak?”, sambil menawariku batagor yang hampir habis itu, mungkin hanya tersisa saus kacangnya.
“Alhamdulillah. Makasih, nawarin itu dari tadi dong, nawarin pas udah mau habis”, jawabku bercanda.
“Hehe, aku laper. Dari tadi pagi belum makan”, jawabnya sambil melahap habis.
“Kebiasaan deh, jarang makan”.
“Males”, sambil tersenyum.
Kami mengobrol disana, sekitar 15 menit. Kemudian tiba-tiba ia berdiri dengan cepat, meraih tasnya, mencabut charger handphonenya, dan mengambil jaket yang sengaja ia tinggal dibalik pintu.
“Eh, mau kemana?”, tanyaku heran.
“Ngerjain tugas”, jawabnya sambil membalas pesan di handphonenya.
“Nanti mampir ke kos ya”.
“Ngapain?”, tanyanya bingung.
“Ada, nanti”.
“Ngapain? Kayaknya nanti bakal malem banget deh, apa besok aja gimana?”.
“Keburu busuk”.
“Apa emang?”.
“Ya nanti juga kamu tahu”.
“Gampang deh ntar, aku cabut ya”.
“Iyaudah, hati-hati mas”, sambil melihatnya berlalu.
Ia pergi, kemudian aku tidur lagi. Melunasi tidurku yang terganggu olehnya. Hingga bangun pukul setengah delapan malam. Sudah malam juga ternyata, lama pula aku tidur. Aku memutuskan untuk pulang ke kos sebelum hari kian gelap lagi. Ada tugas-tugas yang sudah mengantre untukku kerjakan juga.
Sesampainya di kos, aku mandi, kemudian beres-beres, lalu melanjutkan untuk mengedit video liputanku. Hingga pukul sepuluh malam. Layar handphoneku tiba-tiba menyala disertai notifikasi darinya.
“”Mending kamu tidur aja, besok aja kali ya? Aku masih belum selesai soalnya”, pesannya.
“Ah gak mau ah, gapapa aku tunggu, aku juga masih ngedit”, sanggahku.
“Yaudah kalo mau nunggu, ntar tapi. Jam 11 aku otw kali ya, biar gak kemaleman”, tanyanya.
“Iya gapapa, nanti balik nugas lagi ‘kan bisa, apa mau sekarang?”.
“Nanggung, nanti sekalian ya, nanti aku kabari kalo otw”.
“Oke siap, aku tunggu, santai”.
“Lanjut nugasnya. Semangat! J”, berdebar lagi, kencang, meski tidak bertatap muka, aku juga heran.
“Kamu juga mas, semangat nugasnya J”.
Hingga setengah 12 malam, ia ternyata baru bisa menuju kosku. Ia bilang sedang diperjalanan. Aku siap-siap ganti baju, memakai jaket, memakai kerudung, karena sebelumnya aku hanya menggunakan celana dan kaos pendek. Bisa dibilang excited.
Malam itu, barusan saja selesai kutulis surat untuknya sebelum aku memulai untuk ngedit videoku. Surat itu berisi ucapan selamat mengerjakan tugas-tugas menjelang UAS dengan kalimat-kalimat yang akan membuatnya bertanya-tanya karena sengaja kubumbui kata-kata yang menjurus tentang kedekatan kami selama ini, namun entah bagaimana ia mengartikannya. Sepotong kue black forest yang kubeli semalam di Paragon. Iya, jadi semalam aku rela ke Paragon hanya untuk membeli sepotong kue ini. Bahagia bisa berbagi kebahagiaan. Maklum, sedang banyak rezeki. Kebetulan saudaraku baru saja pulang ke kampong halaman, kemudian aku diberi uang saku.
Ia sudah didepan gerbang kosku. Berdiam disana, hingga aku keluar. Kusodorkan plastik bertema natal itu kepadanya. Kuletakkan di spion motornya. Ia bingung, tersenyum-senyum.
“Ini apa? Buat aku?”, raut mukanya penuh tanda Tanya.
“Iyalah, masa buat tetanggamu?”.
“Dalam rangka apa?”.
“Gak ada sih, cuma lagi pengen kasih aja. Kamu butuh kok”.
“Apa emang?”.
“Ya nanti dibuka lah”.
Ia mengambil plastik berisi kue dan surat itu kemudian meletakkan digantungan belanja motornya tetapi dengan tidak hati-hati.
“Hey! Jangan gitu bawanya, nanti rusak! Kalau sampe rusak, kamu harus gentian beliin aku lho”, aku panik.
“Heh? Apa sih ini? Iya iya, maaf”.
“Yaudah gitu doang, aku cuma mau kasih ini”.
“Hmmmmmmm, kirain ada apa. Yaudah aku pulang dulu”.
“Berani mas?”.
“Aku mau nugas lagi maksudnya, malam ini gak pulang kayaknya”.
“Yaudah, hati-hati. Selamat nugas, mas”.
“Iya, kamu juga, semangat ngeditnya”, kemudian menghidupkan motornya dan berlalu.
Setelah kue itu sampai kepada pemiliknya. Sejak saat itu pula, mungkin saat suratnya sudah dibaca. Ada perasaan canggung pada dirinya. Sehingga semenjak hari itu, kami jarang berkomunikasi, renggang. Seperti ingin menjauh, tetapi mungkin hanya ia yang mampu. Sedang aku masih berusaha mencari topik-topik pembicaraan yang ingin kubahas dengannya. Sekadar basa-basi, hingga hal-hal penting yang sebenarnya masih bisa kami bicarakan besok-besok.
Penulis : Gusti Bintang Kusumaningrum