Le Malentendu
(oleh: Muhammad Abdul Malik)
Lampu diatasnya menyala kuning temaram. Sinarnya tidak terlalu terpancar dan menarik perhatian. Warnanya terkesan membuai kehangatan. Ahh, rintikan hujan tadi memang membuat tubuh kedinginan.
“Hei, minumlah…” Ella dikejutkan oleh sosok disampingnya dan terbuyar dalam lamunan. “Kalau sudah dingin, tak enak nanti”
Ella menyeruput kopi panasnya itu. Ia sedikit menahan panas. Ketika bibirnya hampir menyentuh pinggiran cangkir, Ia sengaja melihat Emanuel dari balik cangkir. Didepannya adalah orang yang selalu ada. Selalu. Jika Ia berada diposisi atas. Bahkan jatuh terjun berada diposisi bawah sekalipun, seperti sekarang ini.
“Aku masih tidak percaya” ucap Ella memulai percakapan. Bibir merahnya sedikit basah.
“Kau harus kuat. Ella!
“Eman….” sapaan akrab Emanuel. “tapi aku..” pantulan cahaya lampu diatas tak bisa menyembunyikan kesedihannya. Telaga dipelupuk matanya hampir penuh. “aku tidak mampu”
“Ayolah, Ella. Mari kita selesaikan masalah bersama. Aku tahu ini ini bukan kesalahan. Ini kemalangan.” Mata Eman menatap Ella dalam-dalam. “Bukankah itu sebuah kerikil. Ya ampun, hanya kerikil. Kita bisa menghempaskannya dengan ujung jari kaki kita. Namun kita juga harus hati-hati agar kerikil itu tidak melukai. Benar-benar harus hati-hati menjelaskan itu semua kepada orang-orang.” Eman berusaha untuk menguatkanya.
Jika masalah diibaratkan sebuah isi harta karun, dan cara penyelesaiannya diibaratkan secarik kain sutera yang menutupi harta karun itu, maka Komunikasi adalah seperti menghempaskan secarik kain sutera itu untuk mengambil isi harta karun. Komunikasi memang benar-benar dapat menyesaikan agar masalah tak berlarut-larut. Lalu mengendap. Hingga basi kemudian memadat.
“Bagaimana mereka kalau tidak percaya.” ucap Ella sembari mengulur tisu disamping kopinya, Ia mengusap matanya sebelum air telaga dipelupuk matanya jatuh. “Aku tidak tahu mengapa orang-orang berpikiran jauh seperti itu.”
“Saya memang bodoh! Seharusnya saya menahan diri untuk tidak masuk ke kamar kosmu dipagi hari yang sepi. Dan sialnya, kali itu saya hanya memakai kolor.” Sesal Eman sambil mengepal tangannya kuat-kuat. “Tapi kala itu kita tidak melakukan apa-apa kan Ella? Dan mereka semua itu malentendu(1)”
Ella mengangguk perlahan.
Cahaya lampu rem yang menyala terang ketika hampir sampai lampu merah, bunyi cicitan rem, dan lalu-lalang orang-orang, juga papan iklan yang menampilkan produk pasaran, tidak menarik perhatian Ella dan Eman sama sekali. Disudut ruangan kedai kopi itu, mereka tenggelam dalam percakapan.
Ella melihat tangannya seperti tangan milik orang lain “Kau tidak boleh seperti ini. Tidak ada kesalahan yang kau perbuat. Mereka semua terlalu mencampuri urusan orang. Jangan sedih!
***
Ella dan Emanuel adalah remaja lawan jenis yang mempunyai ketertarikan satu sama lain. Cinta mereka tumbuh seperti ungkapan jawa: Witing Tresno Jalaran Soko Kulino. Sebuah ungkapan dalam bahasa jawa bahwa “Cinta tumbuh karena terbiasa” – terbiasa bertemu dan bersama-sama. Mereka memang satu kampus, satu fakultas, satu program studi dan tak jarang satu kelas. Karena mereka anak rantau, untuk bertempat tinggal mereka menyewa kos. Bukan, mereka bukan satu kos. Eman kos didaerah selatan kampus. Sedangkan kos Ella berada diutara kampus. Sedikit jauh. Namun mereka masih bisa bertandang ke kos satu sama lain.
Kamis pagi kala itu, Eman sedang bertandang ke kos Ella untuk menyelesaikan tugas kuliah yang akan dikumpulkan sesegera mungkin.
“Aku akan menuju kosmu sekarang Ella.” Tulis Eman dipesan singkatnya. Sebelum Ia memutar tuas gas motornya, Ia memencet tombol send.
Eman tidak tahu apakah Ella menyanggupi untuk menerima Eman ditempat kosnya. Eman terlalu terburu-buru.
“Eman aku mohon jangan sekarang.” Balasan pada pesan singkatnya tadi ketika Ia sampai didepan kos Ella.
“kepalang tanggung! Aku sudah sampai didepan kosmu, Ella.”
“Ella, Selamat Pagi… buka pintunya segera, sayang!”
Keadaan kos pagi hari ini memang sepi. Sepatu-sepatu yang ditempatkan dirak dekat tempat sampah tak ada. Sandal lusuh terlihat terbengkalai dilantai. Nampak juga kursi tua yang teronggok dan sapu lusuh yang tersender ditembok motif bata balok.
Bunyi pintu terdengar ketika gagang pintu terpelintir kekanan.
“Kau tidak baca balasanku. Ya ampun…” Ella berusaha memberitahu Eman bahwa ini bukan waktu yang tepat untuk bertandang, namun Eman nampakknya tahu dan segera memotong;
“Ini karena tugas Ella.”
Mungkin Ella bisa beralasan jika Ia belum mandi dan belum siap diri. Bagaimanapun, Ia ingin sempurna didepan kekasihnya. Jika memang Eman cukup peka melihat ketidaksiapan seseorang, alasan Ella memang logis dan benar, bahwa wajahnya telihat kusut, bibirnya belum tergores lipstik, bubuhan bedak tipis belum tersebar, dan rambutnya sedikit awul-awulan.
“Bolehkah aku masuk?”
Kursi tua yang teronggok dan warna kreamnya telah lusuh, seperti melarang Ella; “please… jangan duduki aku. (dengan tatapan mata sayu)” dan ketika Ella melempar pandangan kelantai warna abu-abu “Jangan duduki. Aku kotor. Kau tidak pernah mengepel punggungku.”
“Masuk saja.”
***
Nyonya Rein setiap minggu sore selalu melihat hasil pantauan selama satu minggu dari CCTV yang Ia pasang dipojok atas genteng kosnya. CCTV-nya Ia warnai coklat, jadi tidak telihat. Nyonya Rhein nampaknya pribadi yang was-was, Ia tak mau penghuni kosnya meninggalkan usaha barunya ini, mengingat pekan lalu telah terjadi tragedi seorang mahasiswa kehilangan laptopnya. “Biar aman.” Alasannya ketika tiap kali orang-orang bertanya mengapa ia memasang CCTV dikosnya.
Namun ketika Ia melihat video pada Kamis pagi. Ia tercengang. Dalam video itu terlihat sosok pria tinggi, warna kulitnya kecoklatan, hidungnya mancung, dan hanya memakai kolor. Pria itu memasuki salah satu kamar kosnya. Diambang pintu, Nyonya Rhein bisa melihat bahwa –dan Ia belum percaya, bahwa Ella menyambut pria itu dan membiarkannya masuk. Pikiran Nyonya Rhein melesat jauh menduga-duga apa yang dilakukan Ella dan Pria itu didalam kamar kosnya.
Adegan itu kemudian tersebar ke penghuni kos lain. Tatapan mata dan tindak-tanduk penghuni kos lain terhadap Ella sekarang berubah. Ella cukup pintar untuk menyimpulkan bahwa Ia sedang direndahkan dan diremehkan. Ia tidak tahu mengapa. Namun ketika nyonya Rhein berkunjung untuk melihat keadaan kosnya, Ia basa-basi menyapa Ella.
“Kemana pria itu, Ella?
Seketika Ella tersadar bahwa Ia merasa direndahkan dan diremehkan karena masuknya Pria itu kekamar kosnya. Bahwa semuanya telah salah paham. Ini harus segera dibicarakan. Segera. Sebelum Salah Paham menggerogoti kebenaran.
Malentendu(1) (baca: malongtondzuu) adalah bahasa perancis yang jika diterjemahkan dalam bahasa indonesia berarti Salah Paham. Jika didepan kata malentendu terdapat kata Le ( Le Malentendu) mempunyai arti Kesalahpahaman.