sumber foto : katawarta.com
Tiwah untuk Bapak
oleh : Revita Tri Sulastri
Di sore hari, padang rumput di kaki bukit desa Pandau, Radiyo duduk diam, termenung menunggu matahari tenggelam. Sesekali ia usap butiran-butiran air yang jatuh dari matanya. Membasahi pipi lagi relung hatinya semenjak beberapa minggu terakhir ini. Ditegakkannya badannya yang kurus kering dan hitam itu. Pakaiannya yang kotor kontras dengan hijaunya padang rumput. Pundaknya telah lelah memikul batu dari hari ke hari, tapi hatinya lebih lelah lagi. Ia meratap dalam diam bagai perihnya luka disayat parang.
“ Kemona lagi ulun mencari duit?[1]” ujarnya di sela-sela isak tangis sore itu.
Dari kejauhan, terdengarlangkah kaki-kaki kecil berlari semakin mendekat. Telapak kaki tak bersandal itu dengan pasti melangkah menuju sosok kurus dikejauhan. Rambutnya acak-acakan tertiup angin malam. Tapi, bibirnya menawarkan tawa dihiasi gigi-giginya yang tanggal disana – sini.
“ Bapak, disuruh uma pulang. Sudah malamam, pak.[2]” ujar gadis kecil itu. Ia peluk laki-laki yang dipanggilnya bapak dari belakang. Bergelayut disana hingga sang bapak berdiri sambil mengelus rambut si anak. Digendongnya gadis kecil itu dan pergi meninggalkan padang rumput yang sunyi. Untunglah, hari telah beranjak malam. Sang anak tak dapat melihat bahwa matanya sembab karena menangis.
Sesampainya di rumah kayu kecil yang dihiasi lampu teplok, harum masakan tercium memenuhi rumah itu. Istrinya sedang mengaduk soto manggala[3]. Duaanak kecil lainnya duduk bersila dilantai dapur, ditangan mereka tergenggam mangkuk kecil dengan sendok plastik.
“ Pak, uma ikam tadi menyinggah kesini[4]. Menanyakan duit tiwah[5]untuk bapak.” kata istrinya setiba ia dirumah. Radiyo hanya diam dan mengambil mangkuk dari keranjang. Perutnya lapar hingga tak dapat membuka mulut untuk menjawab barang sebentar. Tapi, lebih dari itu, ia juga takut untuk menjawab kata-kata istrinya. Hal itulah yang telah menyiksanya berhari-hari. Membuatnyabekerja siang dan malam. Jangankan untuk mentiwahkan almarhum bapaknya, makan sehari-hari saja ia susah.
“Apa kabar kerjaan hari ini?”tanya istrinya sambil menyendokkan soto panas ke dalam mangkuk. Radiyo menyuap soto manggala panas itu. Manggala[6] lumer dimulutnya bersamaan dengan bumbu-bumbu khas yang dimasukkan istrinya. Memang, tak ada yang mengalahkan nikmatnya soto manggala setelah pulang bekerja.
“Kada tau lagiam. Baya dapat seratus ribu, mah, hari ini.[7]” ujar Radiyo sambil terus memasukkan manggala ke dalam mulutnya. Istrinya diam sambil memandang dengan tatapan yang sayu. Ia mengerti kelelahan suaminya bekerja. Mengadakan tiwah bukan perkara gampang. Butuh uang ratusan juta untuk hal itu. Sedangkan uang sepeserpun mereka tak punya.
“ Coba ikam padahkan ke uma ikam. Jangan tergesa-gesa mengadakan tiwah. Kita kada punya duit.[8]” sahut istrinya dengan nada kesal. Anak-anak mereka yang mendengarkan hanya diam, tak berani membuka suara. Begitupun dengan Radiyo. Ia sudah berkali-kali mendatangi ibunya di ujung desa Pandau. Acara tiwah hanyalah angan-angan belaka bagi keluarga miskin seperti mereka. Butuh belasan tahun lagi untuk menabung. Tapi, ibu tidak mau tau. Ia sudah melihat tetangga-tetangganya mengadakan tiwah. Orang-orang itu sudah menepati janji pada almarhum keluarga dan mengantarkan arwah ke surga.
“ Uma ni cuma honda bapak ikam ditiwahkan secepatnya. Sudah dua puluh tiga tahun bapak ikam meninggal. Kada ada satupun anaknya yang punya duit buat berbakti ke bapaknya[9].” kata ibunya tiga hari yang lalu ketika Radiyo berkunjung ke rumah ibu.Keputusan ibu sudah bulat. Dia ingin acara tiwah secepatnya diselenggarakan. Sedangkan dari ketiga anak ibu, Radiyo adalah anak paling pertama. Kedua adiknya, Pilem dan Marlan, yang juga sudah berkeluarga malah menyerahkan beban biaya tiwah ke Radiyo. Tidak ada satupun dari mereka yang mapan semenjak ditinggalkan bapak puluhan tahun silam. Saat itu, bapak meninggal tertimpa pohon besar yang ia tebang untuk dijadikan gelondongan.
Dalam adat Dayak, tiwah adalah acara wajib untuk mengantarkan arwah almarhum keluarga menuju surga. Dengan begitu, almarhum akan beristirahat dengan tenang. Acara tiwah ini sangatlah mahal. Mengadakan acara semacam ini juga akan meninggikan derajat suatu keluarga.
“Sudah, kena[10] dulu memikirkan duit. Yang penting hari ini kita makan soto dulu.” kata Radiyo menenangkan istrinya. Setiap kali pulang ke rumah, topik pembicaraan mereka hanyalah uang untuk acara tiwah. Padahal Radiyo hanyalah seorang buruh yang bekerja tak pasti. Terkadang ia akan ikut orang kampung mengangkut pasir dan batu untuk perusahaan. Atau ia sesekali bekerja memanen buah sawit di kebun orang. Ketika sedang musim orang-orang mendulang emas, ia pun juga ikut mendulang emas. Tapi, uang yang ia terima masih sangat jauh untuk mewujudkan impian ibunya.Malam itu, seperti malam-malam lainnya, tidur Radiyo tak pernah lagi nyenyak. Ia selalu takut untuk membuka mata keesokan harinya. Di sudut kamar dengan tilam[11] yang sudah tipis busanya, ia beberapa kali terisak pelan. Air matanya sudah sulit keluar, tapi tetap menyesakkan dadanya yang kurus kering. Sedangkan istrinya pura-pura tertidur pulas sambil memeluk guling. Matanya tertutup rapat, tapi hatinya ikut merasakan kepedihan suaminya. Kesedihan mereka menguap di kamar itu. Bergumul dengan malam yang sepi.
****
“Oii, handak begawi kada ikam, nih?[12]” teriak seorang lelaki bertubuh tambun dari kejauhan. Ia sudah memerhatikan Radiyo dari tadi pagi. Kerjanya lamban. Radiyo hanya membawa batu dan pasir sedikit dari sungai. Tak diperhatikannya wajah Radiyo yang sudah pucat siang itu. Keringat bercucuran sepanjang badan Radiyo yang kurus kering.
“ Maaf, pak. Ulun lagi kada nyaman badan[13].”sahut Radiyo lemah. Laki-laki itu hanya berdecak jengkel. Baginya, sudah banyak pekerja yang mengeluh sakit saat bekerja. Tapi, banyak dari mereka hanya menggunakan alasan itu tanpa bukti yang pasti.
“ Nah, minum saja dulu. Habis itu begawi lagi.” lelaki itu melemparkan botol air minum ke arah Radiyo. Tangannya yang gempal menyuruh Radiyo untuk duduk di kursi dekat truk yang ia parkir di pinggir jalan desa. Matahari tepat diatas kepala mereka. Teriknya memang membuat warga desa malas keluar rumah. Tak ayal lagi, inilah yang sering jadi alasan para pekerja untuk pura-pura sakit atau sengaja mengambil batu dan pasir lambat-lambat di tepian sungai.
“ Tenang, tinggal dua hari lagi.” kata bapak bertubuh tambun itu sambil menepuk pundak kurus Radiyo pelan. Radiyo hanya tersenyum malu.
“ Makasih, pak. Ulun tadi hanya pusing saja.”
“ Padahal semalam ikam yang paling hancap mengangkut batu dan pasir. Sekarang betimbulanam penyakit. Kada terbiasa, kah, ikam begawi borat macam ini?[14]” tanya laki-laki itu.
Radiyo menggeleng. “ Biasanya ulun memanen sawit orang saja. Ini lagi cari kerjaan sampingan untuk mentiwahkan almarhum bapak.”
Laki-laki itu terdiam. Ia memandang Radiyo dari atas sampai bawah. Radiyo ini kurus kering persis orang yang kurang makan. Pakaiannya jelek bertambal-tambal. Sudah jelas, sekali pandang orang langsung tahu bahwa Radiyo ini miskin. Ia tak mungkin dapat mengadakan acara tiwah seperti warga – warga Dayak yang kaya. Hendak ia menasehati Radiyo agar buang jauh-jauh keinginannya. Tapi, tidak sampai hati pula ia berkata seperti itu. Mata Radiyo yang penuh dengan harapan dan rasa lapar bercampur jadi satu yang membuat ia mengerti. Laki-laki miskin didepannya ini memiliki tekad bulat.
“ Yasudah, ini duit untuk ikam dari aku. Ikam boleh pulang cepat hari ini. Tapi ingat, besok tetap masuk seperti biasa dan kerja seperti biasa. Olesi kepala dengan minyak bawang. Nanti hilang sakit kepala. ” kata laki-laki itu sambil mengulurkan uang seratus ribu. Radiyo kaget bukan kepalang. Ia jarang sekali diberi uang cuma-cuma oleh seseorang. Tapi, rasa senangnya begitu besar hingga ia pulang setengah berlari. Ia tukarkan uang itu menjadi pecahan puluhan ribu di sebuah warung. Ia sisipkan dua puluh lima ribu di kantongnya yang bertambal. Dengan sendal jepit yang sudah kusam, ia berlari menuju ujung desa Pandau.
Di depan sebuah rumah panggung kecil dengan kayu ulin, ia berhenti dan masuk kerumah begitu saja. Seorang wanita tua sedikit terkejut dengan kedatangan anak sulungnya itu. Dengan gembira dan hati sedikit berdebar, Radiyo mengulurkan uang tujuh puluh lima ribunya.
“ Uma, ini duit ditabungkan untuk tabungan tiwah bapak.”katanya tersenyum. Ibunya mengambil uang itu dengan enggan. Tujuh puluh lima ribu masih sangat sedikit untuk tabungan mereka. Tapi, apalah daya. Hanya Radiyo yang menyetorkan uang tabungan untuk tiwah. Sedangkan anak-anak lainnya tidak punya uang sama sekali.
“ Baru tiga hari ikam menyetor duit. Sampai uma mati, acara tiwah kedida bakal jalan.[15]” kata ibunya ketus.
“Uma, tiwah di jaman sekarang ni mahal. Baluman lagi membeli babinya sudah berapa? Membayar orang kasan mentiwahkan bapak itu mahal. Amun handak yang mewah macam orang lain, ya sabar sabar ja. Ulun kada punya duit. Si ada bujuran duit ulun ni.[16]” sahut Radiyo jengkel. Ia menggeleng melihat kelakuan ibunya. Jangankan tiwah, biaya meninggal orang saja mahal.
“ Haruskah melihat tetangga-tetangga kita yang sudah melakukan tiwah? Jangan iri, ma. Sidanya itu punya duit. Ulun begawi siang malam kasan mentiwahkan bapak niam.[17] Tolong sabar.” lanjut Radiyo ketika dilihatnya air mata ibunya sudah berjatuhan. Ia mengerti ibunya juga ingin seperti orang lain yang dengan mudah mengadakan acara tiwah dan mengantarkan almarhum ke surga. Tapi ibunya tidak mau tahu. Ia tetap kecewa Radiyo dan adik-adiknya tidak segera mentiwahkan suaminya.
“ Sudaham bah. Durhaka ikam memarahi uma ni. Itu am keinginan terakhir uma. Uma mau bapak ikam ditiwahkan secepatnya![18]” teriak ibunya sambil menutup pintu. Radiyo hanya menggeleng pelan. Ia tidak menyangka ibunya malah membuatnya menderita dengan segala keinginannya.
Dengan langkah gontai, ia tinggalkan rumah ibunya dan berjalan sepanjang kampung itu dengan sedih. Ditendangnya batu-batu kerikil sambil melontarkan sumpah serapah. Ingin ia pergi kerumah adiknya, memarahi dan meminta uang mereka untuk tiwah. Tapi, ia sangat menyayangi adik-adiknya yang juga serba kekurangan itu. Tak sampai hati ia menyakiti hati adiknya pula. Ketika sampai di depan rumahnya, ia melihat istrinya duduk di depan rumah dengan wajah sedih. Radiyo heran, tidak biasanya istrinya seperti itu.
“ Pak, Konyan sakit panas.” kata istrinya lesu. Konyan adalah anak laki-laki kedua mereka. Radiyo serta merta menghambur ke dalam rumah. Ia melihat Konyan terbaring di tilam kecil sambil merintih kesakitan. Kedua anaknya yang lain menunggu saudara mereka dengan wajah yang takut sambil memeluk kaki. Dirabanya kepala Konyan dengan penuh kasih sayang. Memang panas. Disekujur tubuhnya muncul bercak-bercak kemerahan. Seperti gejala cacar, pikirnya. Memang Konyan selama ini belum pernah kena cacar. Ini adalah cacar pertamanya. Radiyo segera berlari ke luar rumah.
“ Jaga anak-anak saja. Aku ke rumah Pilem dulu.” teriaknya pada istrinya. Radiyo segera berlari ke rumah adiknya di dekat Sekolah DasarNegeri Pandau. Maksud hati ia ingin meminjam motor butut milik adiknya.
“ Toloong.. Pilem toloonggg ..” teriak Radiyo. Ia menggedor – gedor pintu rumah yang sudah reyot itu. Adiknya membuka pintu dengan bersungut-sungut. Kesal karena sang kakak begitu kasar mengetuk pintu rumahnya.
“ Kawani aku ke Pangkut[19]. Konyan sakit cacar.” kata Radiyo. Ia sudah tidak menghiraukan lagi kepalanya yang berdenyut-denyut dari tadi pagi. Satu-satunya Puskesmas di desa Pandau tidak terawat dengan baik. Mantri yang bertugas sering ke luar kota dan hanya beberapa kali ke desa. Biasanya orang-orang desa akan pergi ke Pangkut yang lebih lengkap segala fasilitasnya, walaupun dari desa Pandau perlu waktu 2 jam untuk sampai kesana. Pilem segera berlari ke kebun singkong di belakang rumah tempat ia memarkir motornya. Dengan mengendarai motor butut tuanya yang sudah dipreteli disana-sini, ia membonceng kakaknya menuju rumah Radiyo.
“ Kak, memangnya kakak punya duit ke Puskesmas Pangkut?” tanya Pilem ketika sudah sampai di depan rumah Radiyo. Radiyo baru ingat akan uang seratus ribu yang ia dapatkan hari ini. Tapi, di kantongnya hanya tersisa dua puluh lima ribu. Mana cukup uang dua puluh lima ribu untuk biaya Puskesmas. Dengan sedih,ia menggeleng kepada adiknya.
“Aku pinjem ke uma dulu. Kakak siap-siap bawa Konyan ke depan rumah” kata Pilem dan segera memacu motornya ke ujung desa Pandau. Tidak sampai lima belas menit, Pilem kembali dengan membawa uang ratusan ribu. Radiyo dan istrinya menunggu didepan sambil menggendong Konyan.
“ Uma meminjamkan duit?” tanya Radiyo tak percaya. Ia sebenarnya cukup sangsi sang ibu akan mengeluarkan uang yang disayang-sayang untuk acara tiwah bapaknya. Namun, Pilem menunjukkan empat ratus ribu yang dipegangnya.
“ Mana tega uma melihat cucunya sakit. Jangan sering berburuk sangka dengan uma. Kada baik[20].” ujar Pilem menasehati. Radiyo tertunduk malu. Ia berjanji ketika pulang nanti ia akan bekerja keras untuk mengganti uang tabungan ibunya.
Siang itu, berangkatlah Pilem dan Radiyo sambil membawa Konyan ke desa Pangkut. Sampai disana, suasana desa Pangkut ramai dengan baliho – baliho selamat datang dan bendera warna – warni. Seperti ada perayaan yang baru saja diadakan. Orang-orang ramai di jalan-jalan dan tertawa. Tidak berlama-lama menonton orang, Pilem dan Radiyo pergi ke puskesmas di tengah-tengah desa Pangkut yang besar. Seorang mantri cantik segera mempersilahkan Radiyo untuk membawa Konyan ke ruang pemeriksaan. Sekitar 30 menit, Konyan dan Radiyo keluar dari ruangan. Konyan sudah disuntik, diberi obat dan dianjurkan untuk kontrol beberapa hari lagi. Panasnya pun sudah berangsur-angsur berkurang.
“ Hati-hati di jalan, anak manis.” kata mantri cantik itu sambil memberikan jaket birunya untuk Konyan. Radiyo dengan wajah lega mengucapkan terima kasih pada mantri. Mereka segera pulang ke Pandau sebelum malam.
Di ujung jalan desa Pangkut, tiba-tiba Pilem berhenti mendadak. Ia kaget dan berseru.
“ Alamak, ada dompet orang jatuh.” katanya dan segera mematikan mesin motornya. Ia turun dan mengambil dompet hitam itu. Warna dompet itu begitu kontras dengan tanah merah yang ada di desa Pangkut. Dengan mata yang berbinar-binar, Pilem membuka dompet. Penasaran, Radiyo juga turun dari motor dan ikut menghitung uang temuan.
“ Sembilan ratus lima puluh ribu kak. Banyak ni kasan ganti duit uma[21].” kata Pilem sumringah. Radiyo juga senang. Macam di timpa durian runtuh. Ia mengambil uang dari dompet hitam tersebut. Ia tak pernah memegang uang sebanyak itu. Sepertinya hanya orang kaya yang menyimpan duit sebanyak itu dalam sebuah dompet, kehilangan beberapa ratus mungkin tidak masalah bagi orang kaya ini, pikir Radiyo.
“ Simpan saja, kita ganti uang uma dan bagi dua untuk kebutuhan sehari-hari.” ujarnyapada Pilem. Baru saja mereka ingin membuang dompet kosong itu, Konyan membuka mulutnya.
“ Maka bapak sering memadahi ulun jangan memampit barang orang lain. Ujar guru disekolah juga macam itu. Maapa bapak memampit duit itu?[22]” kata Konyan dengan polos. Mendengar anaknya berkata begitu, terenyuh hati Radiyo. Ia memang selalu menasehati anaknya untuk tidak mengambil barang orang tanpa izin. Namun sekarang, malah ia sendiri yang melanggar kata-katanya itu. Dengan berat hati, ia menoleh pada Pilem dan mengisyaratkan adiknya itu untuk mengembalikan uang ke dalam dompet lagi. Pilem kesal tapi juga malu untuk mengakui kata-kata Konyan. Ia jejalkan uang itu kedalam dompet.
“ Sekarang, kita kembali ke Pangkut dan kasih itu ke kantor camat.” kata Radiyo.
Mereka pergi ke kantor Camat dan menginformasikan penemuan dompet itu. Dengan wajah yang sumringah, bapak Camat bahkan berterima kasih pada Radiyo, mencatat namanya dan alamat agar di infokan ke si pemilik dompet. Sebenarnya Radiyo ragu, malah ia curiga si camat dan anak buahnya akan mengambil uang tersebut. Ah, tapi sudahlah, memang bukan rejeki dia juga, pikirnya dalam hati. Sore itu, dengan hati yang masih belum ikhlas, Radiyo dan Pilem pulang ke Pandau. Dan dengan kepala yang pusing pula, Radiyo baru sadar ia besok akan kembali bekerja untuk pesta tiwah dan mengganti uang ibunya.
*****
Tiga hari kemudian..
Pagi itu Radiyo sedang menjahit sepatunya yang sudah usang. Sepatunya tersebut sudah jebol berkali-kali dan dijahit berkali-kali pula. Ketika sedang menjahit sepatunya, si kecil Sari berlari ke dapur sambil membawa boneka usangnya.
“ Pak, ada orang di depan rumah.” ujar Sari. Radiyo dan istrinya berpandangan. Siapa yang pagi-pagi begini berkunjung ke rumah mereka. Mungkinkah ibu? Yang ingin menagih duit untuk tiwah. Memikirkannya saja, Radiyo dan istri sudah pusing tujuh keliling. Dengan enggan, Radiyo dan istrinya pergi melihat tamu mereka.
Orang yang berdiri di pintu rumahnya adalah Camat Pangkut, Kepala Desa Pandau dan dua orang berkacamata hitam dan berpakaian hitam-hitam. Heran dan bingung, Radiyo dan istrinya tidak percaya kedatangan tamu-tamu yang berpakaian rapi luar biasa di rumahnya yang jelek itu.
“ Nah, ini yang namanya Pak Radiyo !” kata Kepala Desa dengan senyum sumringah. Dua laki-laki berpakaian hitam itu mengangguk sedikit dan tersenyum kepada Radiyo.
“ Ada apa ya pak?” tanya Radiyo.
“ Pak Radiyo, bapak ini, kan, yang mengembalikan dompet kemarin ke kantor saya? Dompet yang bapak temukan itu adalah dompet Wakil Bupati Kotawaringin Barat. Kemarin Bupati dan Wakil Bupati melakukan kunjungan ke Kecamatan Arut Utara, tepatnya di Pangkut. Nah, dompetnya itu yang bapak temukan. Ini adalah ajudannya Bapak Wakil Bupati. Mau mengucapkan terima kasih kepada bapak Radiyo.” kata Camat Pangkut itu sambil sesekali membenarkan kacamatanya. Dua ajudan Wakil Bupati itu serta merta menyalami Radiyo yang masih bingung dan melongo keheranan.
“ Disini kami menyampaikan rasa terima kasih dari bos kami. Beliau bilang, akan memberikan hadiah apa saja sesuai permintaan bapak.” ucap salah seorang ajudan tersebut. Radiyo dan isrinya masih melongo lalu kemudian pecah tangis mereka. Sambil tertunduk, Radiyomeraih tangan kedua ajudan itu. Dengan terisak-isak, ia menangis dan menangis. Mungkin inilah jawaban Tuhan atas doa-doanya.
“ Saya minta tolong tiwahkan bapak saya saja, Pak. Tolong. Saya tidak punya uang untuk mengadakan tiwah almarhum bapak saya.” katanya penuh isakan sambil mengguncang-guncang tangan ajudan itu. Tamu-tamunya hanya saling berpandangan haru dan terdiam. Sedangkan istrinya terisak –isak sambil menggendong si kecil Sari.
****
Hari itu adalah hari kamis yang cerah di desa Pandau. Desa itu sangat ramai. Hampir semua orang keluar rumah. Hari ini adalah acara adat tiwah yang diselenggarakan oleh keluarga Radiyo. Babi-babi besar telah di beli untuk dipotong dan dimasak. Dijadikan pesta makan untuk seluruh warga Pandau. Bahkan acara tiwah ini disambut dengan tarian khas suku Dayak Kalimantan Tengah. Acara adat hari itu bahkan menarik perhatian suku dayak dari desa – desa seperti Panahan, Sambi dan Kerabu. Mereka berdatangan dan menonton. Beberapa koran lokal dari Kota Pangkalan Bun juga turut meliput acara adat yang dihadiri oleh wakil Bupati itu.
Radiyo, Pilem dan Marlan berpakaian baju baru yang rapi. Mereka bertiga akan membantu acara tiwah untuk mengantarkan almarhum bapaknya di surga. Dengan diiringi doa-doa khas Dayak beragama Kaharingan, makam ayah mereka di bongkar. Peti matinya dibuka dan tulang belulang ayahnya dikeluarkan, dibersihkan dan di doakan. Radiyo dan saudara-sadaranya juga membantu proses tiwah tersebut. Mereka ikut membersihkan tulang belulang bapak mereka dari kotoran. Acara tiwah diakhiri dengan menaruh tulang-tulang tersebut ke dalam tempat bernama Sandung. Dengan begitu, arwah ayah mereka sudah tenang dan resmi ke surga.
Ibu Radiyo yang sudah tua memeluk ketiga anaknya dengan rasa penuh haru. Ia tidak menyangka, acara tiwah untuk suaminya berjalan cepat lagi mewah. Dengan bertangis-tangisan mereka berpelukan di depan penduduk desa.Hari itu, penduduk desa Pandau mendapat satu pelajaran, kejujuran dan keikhlasan hati seseorang dapat mewujudkan segala hal dengan jalan yang baik pula. Tamat.
[1] : “Kemana lagi saya cari duit?”
[2] : “ Bapak, disuruh ibu pulang. sudah malam, pak.”
[3] : Soto singkong khas Kalimantan Tengah
[4] : “ Bapak, ibu kamu tadi kesini.”
[5] : Tradisi khas suku Dayak untuk menghantarkan arwah ke surga.
[6] : Singkong
[7] : “Tidak tahu lagi. Hanya dapat seratus ribu hari ini”
[8] : “ Coba kamu bilang ke ibu kamu. Jangan tergesa-gesa mengadakan tiwah. Kita tidak punya uang”
[9] : “ Ibu hanya ingin bapak kamu di tiwahkan secepatnya. Sudah 23 tahun ayah kamu meninggal. Tidak ada satupun anaknya yang punya duit untuk berbakti ke bapaknya.”
[10] : Nanti
[11] : Tempat tidur
[12] : “Oii, Mau kerja tidak, sih?”
[13] : “ Saya lagi tidak enak badan.”
[14] : “ Padahal semalam kamu yang paling gesit. Sekarang malah terkena sakit. Tidak terbiasa, kah, kamu bekerja berat seperti ini?”
[15] : “ Dalam tiga hari kamu baru setor uang. Sampai ibu mati, acara tiwah tidak akan terlaksana.”
[16] : “ Ibu, tiwah di jaman sekarang ini mahal. Harga membeli babi juga berapa? Membayar orang untuk mentiwahkan bapak mahal. Kalau mau yang mewah seperti orang lain, ya sabar aja. Saya tidak punya duit. Benar benar tidak punya uang sama sekali.”
[17] : “Haruskah melihat tetangga-tetangga kita yang sudah melakukan tiwah? Jangan iri, ma. Mereka itu punya duit. Saya kerja siang malam untuk mentiwahkan bapak juga.”
[18] : “ Sudah. Jangan jadi durhaka dengan memarahi aku. Itu adalah keinginan terakhir ku. Aku mau bapak mu ditiwahkan secepatnya.”
[19] : “Temani aku.”
[20] : “ Tidak bagus/baik.”
[21] : “ Banyak ini untuk ganti uang ibu.”
[22] : “ Bapak, kan, sering menasehati saya jangan mengambil barang orang lain. Guru di sekolah juga bilang seperti itu. Kenapa bapak mengambil duit itu?”