maaf pada Nandia besok. **** “Habis pulang jalan kok, ngelamun terus sih, Nan?” tanya Mama melihat wajah anaknya kusut seperti baju yang belum disetrika. Nandia hanya terenyum sambil matanya terus menerus memandang handphonenya. Menunggu telepon atau permintaan maaf dari Raka. Nandia menghapus airmatanya. Bagaimana Raka bisa lupa untuk menemuinya? Menelpon dan membalas sms saja dia tidak bisa. Perasaan sakit hati muncul pada Nandia. Bukankah dia dan Raka sudah begitu dekat semenjak kelas 2 SMA ini? Nandia memejamkan mata. Berharap untuk tidur dengan cepat dan menyelesaikan semuanya keesokan hari. **** “Nandia.. Nandiaaa. Tunggu.”, panggil seseorang dari belakang. Nandia menoleh malas-malasan. Dia tahu siapa yang memanggil. Raka. “Kenapa kemarin gak datang? Aku sudah nungguin kamu berjam-jam”, semprot Nandia. “Maaf Nan. Aku lupa.”, Raka menyodorkan kotak brownies pemberian Nandia. “Belum aku makan, nih. Kita bisa makan berdua, kan?”, Nandia mengerutkan dahinya. Perasaannya masih kesal pada Raka. “Makan aja sendiri. Dengan teman-teman kamu, tuh.”, ucap Nandia sambil berlalu. Dia menghentak-hentakkan kakinya disepanjang lorong sekolah. Bahkan sapaan Vania tidak digubrisnya. “Kenapa, sih, Nand? Masih mikirin yang kemarin? Masalah brownies itu? Bukannya Raka udah minta maaf ,kan?”, kata Vania Nandia mengerutkan dahinya pada Vania lagi. “Aku gak menuntut dia minta maaf,Vin. Cara dia membatalkan janji itu yang bikin aku marah. Dengan sengaja lagi.” “ Maafin aja kali. Kan, biar gak berlaut-larut.” Nandia tidak menyahut. Dia membalikkan badan menuju kelasnya. Tidak peduli jika dia harus berhadapan lagi dengan Raka. Namun, ketika sampai dikelas, dilihatnya Raka sedang membagi-bagikan brownies bikinan Nandia yang dia bawa tadi. “ Raka! Kok browniesnya dibagi-bagikan?”, Vania menoleh heran pada Raka. “ Nandia yang nyuruh sendiri.” Nandia menunduk. Wajahnya memerah. Hampir menangis. Memang dia yang menyuruh Raka berbuat seperti itu. Tapi, Nandia tidak menyangka Raka benar-benar melakukannya. Padahal, maksud Nandia, Raka tetap memperjuangkan memakan brownies itu berdua dengan dirinya. “ Tapi..tapi..”, Vania bingung menjawab pernyataan Raka. Dia tahu maksud Nandia yang sebenarnya. Entah siapa diantara Raka dan Nandia yang peduli dan siapa yang sebenarnya gak peka dengan perasaan satu sama lain. “Apa? Nyesal sudah ngomong gitu?”, wajah Raka mengejek pada Nandia.” Makanya ngomong jangan sesumbar.” lanjutnya sambil memasukkan sepotong brownies besar buatan Nandia. “Kok, kamu tega banget, sih, Rak? Yang salah itu kamu. Kamu yang negebatalin janji.”, Nandia berusaha untuk bicara. “ Ya. Tapi, seharusnya kamu harus dengar dulu penjelasan dari aku. Aku benar-benar lupa. Aku keasyikan main.”, Raka berusaha membela diri. Nandia melengos. Dia tidak peduli sekarang jika dia dan Raka menjadi tontonan teman-teman kelasnya. “Dengan kamu membagi-bagikan brownies itu, kamu artinya gak paham dengan apa yang aku maksud. Aku buat brownies itu KHUSUS untuk kamu.” “Aku tahu. Tapi, kamu kan yang nyuruh aku makan brownies ini sama yang lain. So, ini masih salah aku? Gak.”, setelah berkata begitu, Raka berlalu. Kembali meninggalkan Nandia sendiri. Raka berusaha untuk tidak berbalik. Untuk tidak melihat Nandia yang sekarang sudah meneteskan air mata diam-diam. Teman-teman Nandia yang lain, dengan perasaan bersalah, menyodorkan kotak brownies yang sudah kosong pada Nandia. Nandia menepis kotak itu. Memandang Raka yang sekarang sudah pergi menjauh. Meninggalkan dia sendiri lagi. Kali ini dia tertunduk sendiri, memang tak terlihat ada tetesan air yang ada di wajahnya. Ia berusaha menghapus lagi air matanya, ia berusaha tersenyum. Kemudian ia mencari sosok Vania di luar kelas. “Van, kantin yuk “ Wajahnya sangat terlihat dipaksa untuk sumringah. Vania yang terkejut mendegar suara yang tak asing lagi segera berbalik badan “Kamu engga apa-apa? Kantin? Kamu yakin?”, Matanya menatap lembut sahabatnya. Nandia tersenyum “Aku engga apa-apa kok. Cowok kayak dia gak emang ga bisa diperjuangin. Yuk buruan kita ke kantin!” *** Niatnya mencari ketenangan dan kesenangan di kantin sekolah ternyata malah sebaliknya yang dia dapat. Ia menemukan sosok Raka di sana, parah dia bersama cewek lain. Sudah terburu tercebur ia langsung saja meneruskan langkahnya ke dalam kantin. Hatinya benar-benar tersayat. Vania meninggalkan langkah gontai Nandia yang mengambil soft drink, ia menarik Raka dari sebelah cewek yang bernama Rindy. Mereka meninggalkan kantin begitu juga Nindia. ’’Kamu kenapa sih? Kamu engga kasihan sama dia?” Vania terlihat sangat kesal dengan Raka. “Kan dia yang mau semua ini? Aku cuma capek dia giniin. Terlalu kekanak-kanakan.” “Maksud kamu apa sih?” suara Nandia terdengar parau. Raka dan Vania berbalik, Vania sangat kaget melihat Nandia. “Aku sayang sama kamu, tapi apa? Kamu ngecewain aku. Kamu kayak anak kecil! Kamu gak mau dengerin aku dulu! Kamu puas kan? Aku kecewa!”, kali ini suara Raka yang benar-benar terdengar jelas “Mulai sekarang, engga ada kita lagi itu kan mau kamu? Aku kecewa.”, Raka menatap Nindia tajam. Lagi-lagi Nindia tidak bisa menahan tangisnya, ia hanya tertuduk. Sedang Vania, ia bingung harus berbuat apa. Sebenarnya dia ingin mendekap Nindia, tapi di sisi lain ia juga tidak bisa menyalahkan Raka seutuhnya. Yang dikatakan Raka ada benarnya. Tak berapa lama Raka melangkah pergi wajahnya amat kecewa. “Rakaa..”, Nindia memanggil Raka, suaranya amat pelan. Bahkan Vania hanya dapat mendengarnya sekilas. Nindia kecewa, bukan pada Raka tapi pada dirinya sendiri. Ia kecewa mengapa dia begitu cepat terbawa emosi. Nandia terus berusaha memperbaiki semua. SMS-nya tidak di gubris, tak seperti biasanya. Ia segera menelpon nomor Raka, tapi sayang autoreject. Nandia bingung, apalagi yang harus ia lakukan? Bersambung…