Oleh: Adelia Dini Meinawarti
“Orang yang punya kesehatan… punya harapan,
Orang yang punya harapan… punya segalanya”
–Arabic Proverbs–
Masih ingat kasus ponari?
Benar, ponari adalah salah satu dari banyak kasus di antara masyarakat miskin yang lari dari pengobatan medis, masyarakat miskin yang tidak mampu membayar pengobatan dengan biaya mahal dengan hanya mengandalkan premi asuransi jaminan kesehatan, masyarakat miskin yang sangat ingin mendapatkan pengobatan hingga beralih ke pengobatan alternatif yang hanya seolah menyembuhkan namun ternyata tidak, seolah mengurangi namun pada akhirnya menambah masalah baru. Seolah hal ini sudah menjadi rahasia umum bahwa rakyat kecil belum sepenuhnya mendapatkan fasilitas kesehatan yang memadai.
UUD 1945 Pasal 34 ayat 2 menyebutkan bahwa negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. UU tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) (UU Nomor 40 Tahun 2004) turut menegaskan bahwa jaminan kesehatan merupakan salah satu bentuk perlindungan sosial. Pada hakekatnya jaminan kesehatan bertujuan untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup secara layak.
Sekali lagi bukti kewajiban Negara kepada rakyatnya harus dipertanyakan. Memang kita tahu, no country is perfect, tapi doesn’t it scare you sometimes how time flies and nothing changes?
Dengan maraknya kasus penanganan kesehatan yang minim untuk masyarakat miskin. Kasus bayi yang meninggal di loket sebelum ditangani bahkan belum diijinkan untuk ditangani karena prosedur yang berbelit-belit untuk mengurus jamkesmas/jamkesda. Bila dibandingkan dengan negara sebayanya belanja kesehatan Indonesia memang jauh lebih rendah itu bisa dilihat dari studi yang dilakukan oleh bank dunia yang menempatkan Indonesia di bawah Malaysia, Thailand dan Filipina. Dan Indonesia berada pada peringkat ke-100 dunia sebagai negara dengan kesenjangan perbedaan yang tinggi antara anak keluarga kaya dan miskin dalam mengakses layanan kesehatan. Peringkat itu berdasarkan laporan berjudul The Killer Gap: A Global Index of Health Inequality for Children, yang dirilis oleh lembaga kemanusian World Vision pada tahun ini berdasarkan kajian terhadap 176 negara. Ini adalah kenyataan yang sangat memprihatinkan. Masih banyak bayi dan anak-anak yang harus terus ‘membayar harga’ untuk kesenjangan besar ini dengan nyawa mereka.
Namun sekali lagi, Semua terjadi bukan dengan tanpa alasan bukan? Selalu ada hikmah yang dapat diambil dari berbagai kasus jaminan kesehatan yang terjadi di Indonesia. Apa semua harus dibebankan kepada negara? Tentu tidak. Kesehatan adalah tanggung jawab pribadi masing-masing. Bagaimana caranya? Kembali kepada masyarakat untuk mengedepankan pola hidup sehat. Untuk bayi yang sakit? Kembali kepada pola asuh orang tua masing-masing untuk lebih menjaga kesehatan keluarganya dengan baik.
Permasalahan mengenai masyarakat yang belum memahami bagaimana prosedur jaminan kesehatan semestinya kembali lagi kepada pemerintah untuk menyediakan penguatan sistem informasi dan sosialisasi kepada semua lapisan masyarakat. Selama ini yang terjadi, banyak masyarakat di pedesaan yang kurang mengetahui mengenai jaminan, misalnya saja Pelayanan Jampersal yang sebenarnya itu adalah isu yang lama. Masyarakat banyak yang kurang mengetahui manfaat dan jenis layanan yang didapatkan serta persyaratannya.
Pemerataan peyebaran informasi kepada misalnya kelompok masyarakat yang berada di perkotaan, kelompok masyarakat yang berada di pinggiran desa, kelompok masyarakat yang berada di pegunungan. Hal ini biar bisa mewakili pemerataan dari pelayanan dan untuk memonitor apakah masyarakat sudah mengetahui dan mengerti mengenai akses pelayanan kesehatan.
Dilansir dari pemberitaan baru-baru ini Jaminan Kesehatan Nasional akan diberlakukan mulai tahun 2014. PT Askes yang akan berubah menjadi Badan Pengelola Jaminan Kesehatan (BPJS) akan mengucurkan dana asuransi kesehatan dengan iuran (premi) bagi 86,4 juta warga miskin atau sama dengan penerima fasilitas Jamkesmas secara nasional saat ini dengan jumlah rata-rata mencapai Rp 15.500 per kepala/ bulan.
Dana itu lebih besar memang dari dana sebelumnya yang telah dianggarkan pemerintah untuk jamkesmas tahun-tahun sebelumnya. Jamkesmas sebelumnya, pemerintah hanya mengucurkan rata-rata Rp 6.000,- sampai dengan Rp 6.500,- per pasien sebagai dana kesehatan. Namun program tersebut masih menimbulkan keraguan dari pemerintah. Siapkah Indonesia memasuki pelayanan kesehatan universal?
Mulai 1 Januari 2014, pemerintah akan memberikan pelayanan kepada 140 juta peserta, antara lain untuk 86,4 juta jiwa kepesertaan Jamkesmas, 11 juta jiwa untuk Jamkesda, 16 juta peserta Askes, 7 juta peserta Jamsostek, dan 1,2 juta peserta unsur TNI dan Polri. Untuk tahun 2014 pelayanan kesehatan masyarakat belum 100% gratis untuk masyarakat tetapi pemerintah mentargetkan pada tahun 2019 seluruh rakyat Indonesia akan secara otomatis menjadi peserta BPJS Kesehatan dengan sehat secara gratis. Mampukah? Semoga!